PenggagasanBahasa Persatuan Indonesia
Bagian 2
Bahasa adalah penanda utama
suatu kumpulan manusia dapat diidentifikasi dalam satu kelompok. Antara orang
Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Bugis, dan Betawi tidak akan dapat dibedakan ketika
mereka tidak berbahasa. Mereka baru bisa dibedakan berdasarkan identitas
kesukuan ketika berbahasa. Perbedaan bahasa bukan semata-mata perbedaan simbol
komunikasi, melainkan juga perbedaan budaya, ideologi, dan hubungan sosial.
Perbedaan bahasa berarti perbedaan kognisi yang menjadi dasar manusia
mempersepsikan diri dan lingkungan karena pada dasarnya manusia berpikir dengan
bahasa.
Bahasa Indonesia
dikembangkan dari bahasa Melayu. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa bahasa
Indonesia dikembangkan dari bahasa Melayu yang ada di Riau. Bahasa Melayu
merupakan rumpun bahasa-bahasa Sumatra dan bahasa-bahasa Sumatra merupakan
rumpun dari bahasa-bahasa Indonesia. Bahasa Melayu telah menjadi bahasa
pergaulan antarsuku di Asia Tenggara sejak masa lampau. Namun, seiring dengan
masuknya bangsa Eropa ke wilayah Asia Tenggara ini, bahasa Melayu bersaing
dengan bahasa bangsa Eropa. Di satu sisi, bahasa Melayu adalah lingua franca,
di sisi lain, bahasa bangsa Eropa menawarkan kemajuan peradaban. Bangsa Eropa
yang mula-mula menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi dengan
pribumi, lama kelamaan menyebarkan bahasanya kepada penduduk di wilayah-wilayah
yang didudukinya.
Dalam kasus di Indonesia,
bangsa Belanda yang menduduki wilayah Indonesia melakukan pengembangan bahasa
Melayu dengan mentransliterasikan penulisan bahasa Melayu yang semula
menggunakan huruf Arab Melayu diubah menjadi huruf Latin. Ini ditandai dengan
adanya Ejaan van Opuijsen tahun 1902. Meskipun demikian, bangsa Belanda pun
menyebarkan bahasa Belanda kepada penduduk Indonesia. Di sinilah mulai terjadi
persaingan antara bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Bahasa Belanda yang
menawarkan kemajuan peradaban dan menawarkan nilai ekonomi menjadi hal yang
menarik bagi bangsa Indonesia. Bahkan, dalam Kongres Budi Utomo 1908, ada
tuntutan tentang bahasa Belanda yaitu agar penduduk Indonesia juga diberi
kesempatan belajar bahasa Belanda. Belanda pun menyambut hal ini dengan
membangun sekolah Hollandsch Inlandsch Scholen yang menggunakan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantarnya. Pada akhirnya, bahasa Belanda menjadi penanda
kelas sosial tertentu di kalangan pribumi. Kondisi ini juga didukung oleh
kalangan terpelajar pribumi yang banyak meminati penguasaan bahasa Belanda
karena dengan menguasai bahasa Belanda, bangsa Indonesia dapat melanjutkan
pelajaran, memperoleh wawasan, dan juga menduduki jabatan yang gajinya besar.
Dalam kondisi perkembangan
bahasa Belanda yang makin pesat dan penting di Indonesia, bahasa Belanda
direncanakan dijadikan sebagai bahasa persatuan orang-orang yang ada di wilayah
Hindia Belanda. Keinginan akan bahasa persatuan ini dikemukakan oleh orang
berkebangsaan Belanda, Dr. G. J. Nieuwenhuis. Tujuan pembentukan bahasa
persatuan di wilayah Nusantara olehnya adalah untuk menguatkan kekuasaan
Belanda karena dia yakin bahwa hubungan antara negeri penjajah dan negeri
jajahan tidak akan kekal dan bahasa adalah alat paling baik untuk
mempertahankan kekuasaan selama mungkin (Kridalaksana, 1991). Kondisi
kebahasaan yang mengarah pada penerapan bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan
dan adanya kebanggan tersediri bagi pribumi dalam menguasai bahasa Belanda jika
dilihat dari sudut pandang kebangsaan, jelas sangat berbahaya. Seandainya pada
masa itu tidak ada kesadaran para tokoh perjuangan, mungkin, saat ini bahasa
Belandalah yang menjadi bahasa persatuan di negeri kita dan negeri kita belum
tentu sekarang ini sudah merdeka dan menjadi negara Indonesia.
Kesadaran akan bahasa
persatuan yang bukan bahasa Belanda muncul dari tokoh pergerakan yang sadar
bahwa bahasa Belanda tidak akan mampu menjadi perekat seluruh lapisan
masyarakat di Nusantara. Ini terjadi karena orang-orang yang menguasai bahasa
Belanda hanya sedikit. Di sisi lain, kebutuhan akan persatuan untuk perjuangan
menentang penjajahan membutuhkan tenaga yang besar dari seluruh lapisan
masyarakat. Di sinilah bahasa Melayu yang memang sudah sejak lama menjadi
bahasa yang dipahami oleh banyak suku di Nusantara (lingua franca) digunakan
sebagai alat komunikasi perjuangan dan pendidikan bangsa Indonesia.
Pandangan mengenai bahasa
yang cocok digunakan di seluruh Hindia juga pernah diungkapkan oleh Ki Hadjar
Dewantara. Pandangan tersebut diungkapkan Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 28
Agustus 1916 dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag Negeri Belanda.
Dalam prasarannya yang berjudul “Welke
Plaats Behooren Bij Het Onderwijs in te Nemen, Eensdeels de Inheemsche Talen
(ook het Chineesch en Arabisch), anderdeels het Nederlandsch?”, meskipun
tidak secara khusus mengungkapkan bahasa persatuan, Ki Hadjar Dewantara
mengungkapkan pernyataan dalam bahasa Belanda yang artinya sebagai berikut.
“Bahasa Melayu, yang untuk
mempelajarinya sedikit mempersyaratkan kemampuan filologis dan yang sejak lama
menjadi bahasa pengantar di antara penutur asli dan juga di antara penutur
pribumi dari pelbagai bagian Insulinde, pada
masa yang akan datang akan menjadi bahasa yang cocok untuk seluruh Hindia.” (Kridalaksana, 2010: 13—14)
Peristiwa penggagasan
bahasa persatuan yang terakhir terjadi pada suatu peristiwa yang bisa dianggap
sebagai tonggak persatuan bangsa Indonesia, yaitu Kongres Pemuda Pertama.
Kongres Pemuda Pertama merupakan kongres pertama yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan
dari berbagai organisasi pemuda di wilayah Hindia yang membicarakan persatuan
suku-suku bangsa dan golongan yang ada di wilayah Hindia Belanda. Kongres ini
terlaksana ketika kesadaran akan kesatuan antarsuku dan daerah mulai muncul di
kalangan pergerakan, terutama kalangan pemuda. Pembicaraan mengenai perlunya
diadakan kongres antarorganisasi kepemudaan pada masa itu berawal dari klub
debat Politieke Debating Club yang dibentuk oleh Jong Java dan Jong Sumatranen
tahun 1921. Keinginan mengadakan kongres diawali dari pembahasan masalah
Manifesto Politik 1925 yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia, sebuah
organisasi pelajar Indonesia di Belanda (Darmansyah dan Misman, 2010).
Organisasi-organisasi
pemuda kala itu, baik yang berbasis kedaerahan maupun berbasis kesukuan,
kegiatan mereka masih bersifat kedaerahan/kesukuan dan masih mengutamakan
kepentingan kesukuan ataupun kedaerahan. Oleh karena itu, penyatuan
kelompok-kelompok ini masih merupakan hal yang abstrak pada waktu itu. Meskipun
demikian, pada waktu itu sudah ada beberapa tokoh yang memiliki pemikiran besar
berupa persatuan nasional. Tokoh-tokoh yang memiliki pemikiran besar tersebut
di antaranya adalah M. Tabrani, Sumarto,
Suwarso, Bahder Djohan, Jamaludin, Sarbaini, Yan Toule Soulehuwiy, Paul
Pinontoan, Hamami, dan Sanusi Pane. Tokoh-tokoh tersebut sudah memiliki gagasan
persatuan nasional masyarakat Indonesia.
M.
Tabrani adalah ketua panitia Kongres Pemuda Pertama. Muktamar pemuda Indonesia
yang kemudian disebut dengan Kongres Pemuda Pertama ini membahas pelbagai segi
untuk merintis usaha ke arah persatuan nasional. Tujuan dari kongres ini adalah
untuk menggugah semangat kerja sama antarorganisasi-organisasi pemuda di tanah
air untuk meletakkan dasar persatuan Indonesia (Sularto, 1986). Dalam pidato
pembukaan kongres oleh ketua panitia kongres, M. Tabrani, dijelaskan bahwa
tujuan kongres adalah kesatuan antarsuku atau daerah untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia. Tujuan tersebut secara jelas diungkapkan sebagai berikut.
“Kita semua, orang-orang
Jawa, Sumatera, Minahasa, Ambon dan lain-lainnya, oleh sejarah dijadikan mahluk
yang harus saling mengulurkan tangan, bilamana kita ingin mencapai apa yang
menjadi cita-cita kita semua, yaitu kemerdekaan Indonesia, tanah air kita yang
tercinta” (Nur, 1981).
Selain dalam pidato tersebut, Ketua Kongres Pemuda Pertama, M. Tabrani, juga sudah mengungkapkan tujuan kongres pemuda pertama tersebut dalam tulisannya yang dimuat dalam koran Hindia Baroe tanggal 9 Januari 1926 yang berjudul “Kongres Pemoeda-Pemoeda Kita”.
Sumber: Perpustakakan Nasional Republik
Indonesia
Sumber: Museum Sumpah Pemuda
“Menurut keyakinanku, maka
bahasa Melayu lambat-lain akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan
bagi rakyat Indonesia. Dan bahwa kebudayaan Indonesia pada masa depan, akan
diungkapkan dalam bahasa itu” (Sualarto 1986: 24).
Istilah “bahasa Indonesia”
selama ceramah-ceramah dalam persidangan kongres tidak pernah muncul karena
memang tidak ada yang namanya bahasa Indonesia. Istilah bahasa Indonesia baru
muncul ketika Panitia Perumus yang terdiri atas Muhammad Yamin (ketua), M.
Tabrani, Sanusi Pane, dan Djamaludin sedang menyusun naskah rumusan putusan
Kongres Pemuda Pertama pada 2 Mei 1926. Dalam sidang tersebut, M. Yamin
mengajukan rumusan yang ia sebut dengan istilah Ikrar Pemuda sebagai berikut.
Pertama
Kami poetra dan poetri
Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kedua
Kami poetra dan poetri
Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga
Kami poetra dan poetri
Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Melajoe
Adapun rumusan Ikrar Pemuda yang dibawa M. Yamin tersebut, kemudian dibacakan dalam Kongres Pemuda Kedua tanggal 28 Oktober 1928 oleh Ketua Kongres Pemuda Kedua. Pada saat itu, M. Yamin yang hadir dalam Kongres Pemuda II mengajukan usulan hasil kongres kepada Sugondo Joyopuspito (ketua panitia Kongres Pemuda II) dan para panitia lain. Seluruh panitia menyetujui rumusan yang diajukan M. Yamin. Usulan yang diajukan M. Yamin tersebut sebenarnya adalah rumusan yang dibahasnya bersama Panitia Perumus hasil Kongres Pemuda Pertama pada tanggal 2 Mei 1926. Dalam rumusan tersebut, M. Yamin mengubah bunyi rumusan ketiga, yaitu yang semula “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu” menjadi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” sesuai dengan yang diusulkan oleh M. Tabrani. Rumusan tersebut kemudian dibacakan (tanggal 28 Oktober 1928) oleh Ketua Panitia Kongres Pemuda II, Sugondo Joyopuspito dan menjadi “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” atau yang sekarang dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Sumber: Museum Sumpah Pemuda
Saefu Zaman
Posting Komentar