ANALISIS PRAGMATIK FUNGSI TINDAK TUTUR DALAM KASUS UJARAN KEBENCIAN
Abstrak
Ujaran merupakan sebuah tindakan. Ketidakbijakan dalam mengeluarkan ujaran dapat menjerumuskan seseorang pada kasus hukum ujaran kebencian. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tindak tutur dalam ujaran tokoh/seseorang yang dijadikan sebagai kasus hukum ujaran kebencian. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk pemahaman masyarakat agar memiliki pengetahuan dalam mengeluarkan ujaran agar tidak terkena kasus hukum ujaran kebencian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Analisis pragmatik yang digunakan ialah analisis tindak tutur. Data penelitian ini ialah ujaran tokoh yang terkena kasus hukum ujaran kebencian, yaitu Jerinx, Sugi Nur Raharja (Gus Nur), dan Amad Dhani. Hasil penelitian ini adalah (1) ketiga tuturan yang diucapkan berbentuk deklaratif; (2) Amad Dhani menggunakan tindak tutur komisif, Sugi Nur Raharja dan Jerinx menggunakan tindak tutur ekspresif; (3) hal yang memengaruhi terjeratnya ujararan dalam kasus hukum ujaran kebencian adalah pemilihan diksi yang berkonotasi negatif dalam mengekpresikan pandangan penutur terhadap sesuatu; (4) tindak tutur komisif dengan ilokusi mengancam yang digunakan petutur dapat menjadi sebab tersangkutnya penutur terhadap kasus ujaran kebencian.
Kata kunci: pragmatik, tindak tutur, ujaran kebencian
Makalah Lengkap dapat diunduh pada tautan berikut: ANALISIS PRAGMATIK FUNGSI TINDAK TUTUR DALAM KASUS UJARAN KEBENCIAN
PENDAHULUAN
Era kebebasan berbicara seperti sekarang ini memiliki dua
dampak yang saling bertentangan: positif dan negatif. Dampak positif bisa
didapatkan apabila orang/masyarakat mampu menggunakan kebebasan berbicara
secara bijak. Sikap bijak dalam era kebebasan berbicara sekarang dapat
menumbuhkan percepatan kemajuan yang signifikan, baik kemajuan ilmu
pengetahuan, hubungan sosial-budaya masyarakat, ekonomi, maupun kemajuan
politik. Pada sisi lain, ketidakmampuan masyarakat untuk bersikap bijak pada era
kebebasan berbicara akan berdampak pada perpecahan, konflik SARA, konflik
politik, serta kegaduhan lainnya. Semua dampak dari ketidakbijaksanaan
penyikapan kebebasan berbicara tersebut dapat berujung pada kasus hukum,
misalnya penghinaan, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian yang akan
sangat merugikan bagi pelaku ataupun
lingkungan masyarakat.
Dampak positif
kebebasan berbicara saat ini sudah jelas terlihat, terutama dalam dunia
informasi media massa dan juga dalam kehidupan sosial dan politik bernegara.
Meskipun demikian, dampak negatif kebebasan berbicar akhir-akhir ini menjadi
tren kasus hukum yang kita dengar sehari-hari. Hampir setiap minggu kita
mendengar kasus hukum penghinaan, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian.
Pelakunya pun sangat beragam mulai dari kalangan masyarakat umum, tokoh
masyarakat/agama, artis/sosialita, sampai para politisi dan aparatur negara.
Kasus-kasus hukum penghinaan, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian
tersebut yang banyak mencuat sekarang ini disebabkan semakin banyaknya media
sosial sebagai media untuk menyampaikan isi kepala di forum umum. Seburuk apa
pun isi kepala jika tidak diwujudkan dalam ujaran yang tersampaikan di forum
umum tidak akan memiliki dampak hukum. Namun, apabila sudah menjadi konsumsi umum,
konsekuensi hukum dari pihak yang merasa dirugikan dari isi kepala kita yang
sudah disampaikan harus siap diterima. Media sosial baik berupa media tulis
(Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp) maupun media lisan/video (Youtube,
Tiktok) sama memiliki potensi kasus hukum penghinaan, pencemaran nama baik, dan
ujaran kebencian jika kita tidak mampu menyampaikan isi kepala secara bijak.
Kasus-kasus seperti kasus Prita, kasus Nikita Mirzani, kasus Galih Ginanjar,
kasus Amad Dhani adalah contoh kasus hukum penghinaan, ujaran kebencian, dan
pencemaran nama baik yang terjadi hanya karena kesalahan menyampaikan isi
kepala di forum umum/media sosial. Kasus-kasus tersebut bisa dihindari apabila
ada kontrol yang baik dalam cara menyampaikan isi kepala di forum/media sosial.
Dengan berangkat dari
kasus-kasus tersebut, sebagai upaya preventif agar masyarakat yang aktif
menggunakan media sosial lebih berhati-hati dan tidak terjerat kasus hukum,
penulis akan melakukan kajian identifikasi fungsi tindak tutur dalam ujaran yang
menjadi kasus hukum ujaran kebencian.
Kajian ini bertujuan agar mendeskripsikan tindak tutur dalam kasus ujaran
kebencian yang bisa menyebabkan seseorang dibawa ke ranah hukum.
Untuk mendeskripsikan
makna sebenarnya dari sebuah ujaran diperlukan kajian makna dan situasi ujar
yang secara linguistik hal tersebut dikaji dalam ilmu pragmatik. Pragmatik
merupakan ilmu bahasa yang mengkaji makna bahasa dalam sebuah situasi ujar.
Satu kata yang memiliki makna semantis sama belum tentu memiliki makna yang sama
jika diucapkan dalam situasi ujar yang berbeda. Berkaitan dengan situasi ujar,
Leech (2019) menjelaskan situasi ujar meliputi unsur-unsur berikut: penutur dan
petutur, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai bentuk
tindakan atau kegiatan (tindak ujar), dan tuturan sebagai produk tindak verbal.
Ujaran kebencian (hate
speech) merupakan
tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu dalam
bentuk provokasi, hasutan, hinaan, penistaan, pencemaran nama baik, serta
penyebaran berita bohong dalam aspek seperti ras, warna kulit, gender, etnis,
cacat fisik, orientasi seksual, kewarganeraaan, agama, dan lain-lain (Permatasari dan Subyantoro, 2020). Cakupan ujaran
kebencian yang sangat luas, dalam tata hukum Indonesia, terwadahi dalam
beberapa produk hukum, misalnya, KUHP Pasal 156, 167, 310, 311 dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
khususnya Pasal 28. Pasal ujaran kebencian tersebut memiliki sasaran yang
beragam, yaitu perseorangan, kelompok, suku, etnis, dan lembaga/instansi.
Sebuah ujaran bisa
dikatakan secara valid sebagai ujaran kebencian ketika ada analisis makna
semantis kata dan analisis situasi ujar yang mendukung untuk dikategorikan
sebagai sebuah ujaran kebencian. Analisis makna dalam konteks bisa dilakukan
dengan menggunakan analisis tindak tutur. Tindak tutur merupakan interaksi
antara penutur dan petutur dengan tuturan sebagai bentuk interaksi tersebut.
Austin (1962) menjelaskan tindak tutur dalam tiga jenis: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Lokusi mengaitkan suatu topik
dengan suatu keterangan dalam suatu
ungkapan (subjek-predikat). Ilokusi merupakan tindakan mengucapkan suatu pernyataan, tawaran, pertanyaan, dan
sebagainya. Perlokusi mengacu pada hasil atau efek yang
ditimbulkan oleh ujaran yang diucapkan pada petutur sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan ujaran.
Tindak lokusi sebagai
pengaitan suatu topik dengan keterangan dalam sebuah ujaran sederhananya
mengacu pada apa yang diucapkan. Bentuk ujaran yang diucapkan oleh seseorang
merupakan bentuk tindak lokusi. Bentuk tindak lokusi ini bisa berbentuk
deklaratif (pernyataan), imperatif (perintah), dan interogatif (pertanyaan).
Di sisi lain, tindak
ilokusi mengacu pada makna/maksud yang dikandung dari ujaran yang dikeluarkan.
Hal yang dicapai dengan mengatakan/mengeluarkan ujaran tertentu merupakan
ilokusi dari sebuah tindak tutur. Inti dari tindak ilokusi adalah fungsi
tuturan untuk melakukan sesuatu dengan daya yang dimiliki ujaran. Berkaitan
dengan fungsi tururan tersebut, Searle membagi fungsi tindak tutur ke dalam
lima kategori sebagai berikut.
1. Asertif
ialah tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan,
misalnya menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, dan mengklaim.
2. Direktif
ialah tuturan yang dimaksudkan agar si mitra tutur melakukan tindakan sesuai
tuturan, misalnya, memesan, memerintah, memohon, menasihati, dan merekomendasi.
3. Komisif
ialah tindak yang menuntut penuturnya berkomitmen melakukan sesuatu di masa
depan. Contohnya adalah berjanji, bersumpah, menolak, mengancam, dan menjamin.
4. Ekspresif
ialah ungkapan sikap dan perasaan tentang suatu keadaan atau reaksi terhadap
sikap dan perbuatan orang. Contoh memberi selamat, bersyukur, menyesalkan,
meminta maaf, menyambut, dan berterima kasih.
5. Deklaratif
ialah ilokusi yang menyebabkan perubahan atau kesesuaian antara proposisi dan
realitas. Contohnya adalah membaptis, memecat, memberi nama, dan menghukum.
Tindak perlokusi mengacu
pada tindakan atau pikiran yang ditimbulkan dari ujaran yang diucapkan.
Perlokusi merupakan hasil yang dicapai dengan mengatakan sesuatu. Dengan kata
lain, perlokusi
merupakan efek atau dampak dari tuturan (lokusi) yang dituturkan yang di
dalamnya mengandung maksud tertentu (ilokusi) (Saifudin, 2019). Contoh dampak perlokusi dari sebuah
ujaran terdiri atas mendorong, menjengkelkan, menyenangkan, membuat mitra tutur
melakukan sesuatu, mengilhami, mengesankan, membuat mitra berpikir tentang,
melegakan, dan menarik perhatian.
Penelitian analisis
tindak tutur pernah dilakukan oleh Apriyastuti (2017) dengan judul “Bentuk,
Fungsi, dan Jenis Tindak Tutur dalam Komunikasi Siswa di Kelas IX Unggulan SMP
PGRI 3 Denpasar”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk
tindak tutur, fungsi tindak tutur, dan jenis tindak tutur dalam komunikasi
siswa di Kelas. Penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian deskriptif-kualitatif dengan metode
pengumpulan data simak-catat dan rekaman. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa (1) bentuk tindak tutur siswa di lingkungan
sekolah ialah bentuk tindak tutur bermodus deklaratif, bentuk tindak tutur
bermodus interogatif, dan bentuk tindak tutur bermodus imperatif; (2) fungsi
tindak tutur siswa di lingkungan sekolah ialah fungsi makro yang terdiri atas
fungsi asertif, fungsi direktif, fungsi komisif, dan fungsi ekspresif sedangkan
fungsi mikro meliputi fungsi menyatakan, fungsi mengusulkan, fungsi mengeluh,
fungsi memesan, fungsi memerintah, fungsi memohon, fungsi meminta, fungsi
berjanji, fungsi mengucapkan terima kasih, fungsi ucapan selamat, dan fungsi
memberi maaf; dan (3) jenis tindak tutur siswa di lingkungan sekolah, tindak
tutur langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, tindak tutur tidak
langsung literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal.
Penelitian yang
relevan selanjutnya dilakukan oleh Purnamentari dkk. (2017) dengan judul
“Analisis Jenis, Bentuk, dan Fungsi Tindak Tutur Berita Utama pada Koran Bali
Post”. Hasil
penelitian ini menunjukkan (1) berita utama pada koran Bali Post mengandung
tindak tutur lokusi dan ilokusi; (2) bentuk yang dominan digunakan dalam berita
utama adalah bentuk deklaratif sebanyak 27 bentuk; (3) berita utama mengandung
fungsi tindak tutur, fungsi asertif sebanyak 27, fungsi direktif sebanyak 4,
fungsi ekspresif sebanyak 1, fungsi deklarasi sebanyak 1 dan tidak ada fungsi
komisif. Fungsi yang
lebih dominan digunakan pada berita utama ialah fungsi asertif. Fungsi asertif
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu asertif menegaskan, asertif mengumumkan, dan
asertif menduga. Fungsi asertif lebih dominan digunakan karena fungsi tersebut
berguna sebagai ungkapan untuk tuturan menegaskan, menduga, dan mengumumkan
sesuatu kepada mitra tutur.
Penelitian terkait
ujaran kebencian yang relevan dengan penelitian yang penulis adalah penelitian
yang dilakukan oleh Permatasari dan Subyantoro (2020). Penelitian ini
mengungkapkan bentuk-bentuk ujaran kebencian yang ada pada media sosial
Facebook pada rentang waktu 2017—2019. Penelitian yang berjudul “Ujaran
Kebencian Facebook Tahun 2017—2019” tersebut menemukan bentuk-bentuk ujaran
kebencian yang meliputi ujaran kebencian bentuk memprovokasi, ujaran kebencian
bentuk menghasut, ujaran kebencian bentuk menghina, ujaran kebencian bentuk
menistakan, ujaran kebencian bentuk pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian
bentuk penyebaran berita bohong. Penelitian Permatasari dan Subyantoro tersebut
menemukan bentuk umum ujaran kebencian yang terjadi di media sosial Facebook.
Penelitian ini relevan dengan penelitian yang penulis lakukan. Jika penelitian
ini merumuskan bentuk-bentuk umum ujaran kebencian pada media sosial Facebook,
penelitian penulis akan merumuskan penyebab kasus hukum ujaran kebencian. Jadi,
penelitian penulis fokus pada ujaran kebencian yang ditindaklanjuti menjadi kasus
hukum.
Ketiga penelitian yang relevan dengan penelitian penulis tersebut memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penelitian penulis. Kesamaan penelitian penulis dengan penelitian Apriyastuti dan Purnamentari terletak pada metode dan analisis yang digunakan, yaitu analisis tindak tutur. Perbedaan penelitian penulis dengan kedua penelitian tersebut terletak pada data yang dipakai. Kedua penelitian tersebut menggunakan data berupa ujaran siswa dan judul berita di koran, sedangkan penulis menggunakan data ujaran seseorang di media massa yang dikaitkan dengan ujaran kebencian. Penelitian relevan yang ketiga, yaitu penelitian Permatasari dan Subyantoro memiliki kesamaan dari segi kasus, yaitu ujaran kebencian di media sosial. Namun, analisis data yang digunakan berbeda, yaitu penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk-bentuk ujaran kebencian di media sosial pada rentang waktu tertentu, sedangkan penulis menganalisis tindak tutur pada ujaran yang menjadi kasus ujaran kebencian.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis pragmatik tindak tutur. Data penelitian ini adalah ujaran yang diucapkan beberapa tokoh yang ujarannya menjadi kasus hukum ujaran kebencian. Ujaran tersebut meliputi ujaran Amad Dhani, ujaran Jerinx, dan ujaran Sugi Nur Raharja (Gus Nur). Ujaran keempat tokoh tersebut menjadi kasus hukum karena dinilai memiliki unsur ujaran kebencian. Sumber data penelitian ini adalah pemberitaan pada media massa daring dan media sosial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini mengungkapkan pola ujaran yang menjadi kasus hukum ujaran kebencian bagi pelaku. Pola ujaran ini merupakan identifikasi ujaran-ujaran yang memiliki potensi menjadi kasus hukum. Identifikasi dilakukan dengan melihat berbagai fitur linguistik yang melekat pada data ujaran. Identifikasi ujaran yang menjadi kasus hukum ujaran kebencian ataupun pencemaran nama baik adalah sebagai berikut.
Tabel 1 Data Penelitian Berupa Ujaran yang Menjadi Kasus
Hukum
No |
Ujaran |
Pelaku |
Media |
1. |
“Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan
Rumah sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan tes
Covid-19”. |
Jerinx |
Twitter |
2. |
a)
Yang menistakan Agama si Ahok... Yang
diadili KH Ma'ruf Amin... ADP. b)
Siapa saja yang dukung penista agama
adalah bajingan yang perlu diludahi muka nya - ADP c)
Sila Pertama KETUHANAN YME, penista
agama jadi gubernur... Kalian WARAS??? - ADP |
Amad Dhani |
Twitter |
3. |
“NU saat ini dapat diibaratkan sebagai
bus umum--yang sopirnya dalam kondisi mabuk, kondekturnya teler, keneknya
ugal, dan penumpangnya kurang ajar”. |
Gus Nur |
Youtube |
Analisis Tindak Tutur
Analisis tindak tutur yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis jenis tindak tutur, bentuk tindak tutur, dan fungsi tindak tutur. Analisis-analisis tersebut memetakan bentuk tindak tutur yang menjadi kasus hukum ujaran kebencian yang sudah mendapat sanksi pidana dan yang masih dalam proses hukum di kepolisian. Berikut analisis tindak tutur terhadap ujaran yang menjadi kasus ujaran kebencian.
1. Ujaran Jerinx
Jerinx
(Jrx) merupakan personel grup band SID. Dalam kasus hukum yang saat ini sedang
berjalan, Jerinx dianggap melakukan ujaran kebencian. Ujaran kebencian tersebut
merupakan ujaran yang dialamatkan untuk mengkritik organisasi profesi dokter
IDI. Ujaran Jerinx yang disampaikan melalu media sosial Twitter adalah sebagai
berikut.
“Gara-gara
bangga jadi kacung WHO, IDI dan Rumah sakit dengan seenaknya mewajibkan semua
orang yang akan melahirkan tes Covid-19”.
Analisis
Penutur
dalam ujaran tersebut adalah penulis twet, yaitu Jerinx. Tindak tutur yang
dilakukan melalui media sosial memiliki penutur pengguna media sosial. Meskipun
demikian, IDI dan Rumah sakit yang menjadi objek tuturan bisa juga termasuk
dalam kelompok petutur.
Lokusi
“Gara-gara bangga jadi kacung WHO,
IDI dan Rumah sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan
melahirkan tes Covid-19”.
Ilokusi
Ujaran
tersebut merupakan ungkapan kekecewaan penutur terhadap situasi yang diciptakan
oleh IDI dan rumah sakit. Secara fungsi tindak tutur, ujaran Jerinx ini masuk
dalam jenis fungsi ekspresif, yaitu ungkapan
sikap dan perasaan tentang suatu keadaan atau reaksi terhadap sikap dan
perbuatan orang.
Perlokusi
Perlokusi
tindak tutur tersebut adalah membuat mitra tutur melakukan sesuatu. Penutur mengharapkan
mitra tutur (masyarakat) ikut mengkritisi kebijakan IDI dan rumah sakit yang
dianggap “seenaknya mewajibkan semua orang...”. Perlokusi lain dari tindak
tutur tersebut adalah mitra tutur (IDI dan rumah sakit) mengubah standar
pelayanan pada masa pandemi Covid-19, yaitu pihak IDI dan RS tidak semena-mena
mewajibkan semua orang yang akan melahirkan untuk melakukan tes Covid-19.
Pembahasan
Permasalahan
kasus hukum ujaran kebencian yang diterima penutur disebabkan oleh ungkapan ekspresi
protesnya dengan menggunakan kata yang berkonotasi negatif. Kata yang dimaksud
adalah “kacung”. Kata kacung secara semantis bermakna ‘pesuruh, pelayan,
jongos’. Di sisi lain, pihak yang dilabeli “kacung” merupakan organisasi
profesi yang selama ini dianggap bermartabat, yaitu IDI dan juga badan usaha
yang memiliki peran kesehatan masyarakat. Atribut “kacung WHO” meyiratkan makna
bahwa IDI dan RS bukan lembaga/organisasi yang memiliki kredibilitas dan
keahlian ilmiah, tetapi lembaga/organisasi yang hanya mengekor/mengikut/tanpa
pendirian yang jelas atas kebijakan yang diambil. Meskipun dialamatkan kepada
organisasi (bukan perseorangan), ujaran yang disampaikan oleh Jerinx tetap bisa
dikenai sanksi ujaran kebencian. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Permatasari dan Subyantoro (2020) yang menjelaskan bahwa pasal ujaran kebencian memiliki sasaran yang beragam,
yaitu perseorangan, kelompok, suku, etnis, dan
lembaga/instansi.
Ungkapan ekspresi kekecewaan dengan memberi atribut
“kacung WHO” terhadap lembaga ataupun organisasi yang dianggap terhormat
tersebut menimbulkan efek di luar keinginan penutur, yaitu yang semula ingin
IDI dan RS mengubah cara pelayanan mereka, malah berubah menjadi perlokusi
berupa dilaporkannya penutur kepada polisi.
2. Ujaran Amad Dhani
Ujaran
Amad Dhani yang menjadi kasus ujaran kebencian merupakan ujaran yang
dikeluarkan Amad Dhani di media sosial Twitter. Ujaran tersebut menanggapi
situasi yang sedang berkembang saat itu, yaitu dugaan kasus penistaan agama
yang melibatkan Ahok. Ujaran Amad Dhani yang menjadi kasus ujaran kebencian
tersebut adalah sebagai berikut.
a)
Yang menistakan Agama si Ahok... Yang
diadili KH Ma'ruf Amin... ADP.
b)
Siapa saja yang dukung penista agama
adalah bajingan yang perlu diludahi muka nya – ADP
c)
Sila Pertama KETUHANAN YME, penista agama
jadi gubernur... Kalian WARAS??? - ADP
Analisis
Dalam
ujaran tersebut, Amad Dhani (ADP) merupakan penutur ujaran. Petutur atau mitra
tutur dari ujaran tersebut adalah pengguna media sosial. Pihak yang disasar
pada ujaran tersebut adalah orang yang mendukung Ahok dalam kasus penistaan
agama yang sedang dituduhkan kepada Ahok. Ketiga ujaran yang dimuat pada akun
twitter ADP tersebut diunggah dalam waktu yang berbeda, yaitu 6 Februari, 6
Maret, dan 7 Maret. Dalam perjalanan kasusnya, diketahui bahwa ujaran yang
ditulis sendiri oleh ADP adalah ujaran kedua (6 Maret), sedangkan ujaran yang
pertama dan ketiga ditulis oleh admin akun twitter ADP. Analisis tindak tutur
terhadap ujaran ADP dalam akun twitternya tersebut yang akan dianalisis adalah
ujaran kedua yang ditulis sendiri oleh ADP. Berikut analisisnya.
Lokusi
“Siapa saja yang dukung penista agama
adalah bajingan yang perlu diludahi muka nya – ADP”. Ujaran tersebut merupakan bentuk tindak tutur
deklaratif atau pernyataan penutur terhadap suatu kondisi.
Ilokusi
Ilokusi tuturan ADP dalam ujaran “Siapa
saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi muka nya” adalah mengancam. Secara fungsi tindak tutur, ujaran
tersebut memiliki fungsi komisif, yaitu tindak tutur yang menuntut penuturnya berkomitmen
melakukan sesuatu di masa depan. Hal yang
akan dilakukan adalah “meludahi mukanya”.
Perlokusi
Perlokusi dari ujaran ADP tersebut adalah mendorong
ataupun mengajak orang untuk melakukan tindakan “meludahi muka” terhadap orang
yang mendukung penista agama. Mendorong/mengajak orang lain untuk melakukan
tindakan terlihat dari tidak dimunculkannya subjek “dirinya” yang akan
melakukan tindakan tersebut. Dengan tidak dimunculkannya nama diri ataupun
pronomina pengganti diri dalam tindakan tersebut, berarti penutur juga
menyertakan mitra tutur untuk diperkenankan melakukan tindakan serupa, ditambah
lagi dengan digunakannya adverbia “perlu” yang bisa bermakna ‘pemberian
saran/anjuran’.
Pembahasan
Pemberian
atribut bajingan dan pemberian ancaman berupa tindakan “diludahi mukanya” dalam
tuturan ADP merupakan permasalahan ujaran kebencian. Kata “bajingan” merupakan
kata berkonotasi negatif dengan makna ‘penjahat, pencopet, kurang ajar’ yang
biasa dipakai untuk makian. Dalam konteks keakraban, sebenarnya kata tersebut
biasa dipakai. Namun, dalam konteks media sosial yang tidak tentu pembacanya,
kata tersebut bisa dianggap sebagai ujaran kebencian apalagi jika pembacanya
memiliki posisi yang disangka oleh penutur. Penggunaan kata berkonotasi negatif
tersebut masih ditambah dengan penggunaan verba tindakan ancaman “diludahi
mukanya” yang secara tindakan merupakan tindakan yang ditujukan terhadap orang
yang dianggap hina.
3. Ujaran Sugi Nur Raharja (Gus Nur)
Ujaran
yang diucapkan oleh Sugi Nur Raharja (SNR) dilakukan secara lisan dalam sebuah
video yang diunggah di kanal Youtube. Dalam video yang diunngat tanggal 16
Oktober 2020 tersebut, SNR sedang berbincang dengan Refly Harun. Ujaran yang
berisi pandangan SNR terhadap organisasi masyarakat NU tersebut kemudian
dilaporkan ke kepolisian sebagai ujaran kebencian oleh masyarakat. Ujaran yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
“NU
saat ini dapat diibaratkan sebagai bus umum--yang sopirnya dalam kondisi mabuk,
kondekturnya teler, keneknya ugal-ugalan,
dan penumpangnya kurang ajar semua”.
Analisis
Dalam
ujaran tersebut, SNR bertindak sebagai pentur. Petutur dalam peristiwa tutur
tersebut adalah Refly Harun. Meskipun demikian, peristiwa tutur tersebut
disebarkan melalui kanal Youtube sehingga masyarakat luas menjadi tahu dan isi
ujaran tersebut menjadi ujaran di depan publik. Potongan ujaran dalam wawancara
yang dilaporkan sebagai kasus hukum pencemaran nama baik tersebut jika
dianalisis secara pragmatik tindak tutur adalah sebagai berikut.
Lokusi
“NU saat ini dapat diibaratkan
sebagai bus umum--yang sopirnya dalam kondisi mabuk, kondekturnya teler,
keneknya ugal-ugalan,
dan penumpangnya kurang ajar semua”. Bentuk tindak tutur tersebut berupa pernyataan
atau deklaratif.
Ilokusi
Ilokusi
tuturan tersebut adalah SNR menyesalkan kondisi NU saat ini yang diungkapkan
kepada petutur. Keluhan ataupun pernyataan yang berisi pandangan kekecewaan
atau penyesalan terhadap kondisi NU secara fungsi tindak tutur termasuk dalam
fungsi ekspresif, yaitu ungkapan
sikap dan perasaan tentang suatu keadaan atau reaksi terhadap sikap dan
perbuatan orang.
Perlokusi
Perlokusi
atau dampak tuturan tersebut terhadap petutur adalah mengesankan citra NU saat
ini terhadap petutur.
Pembahasan
secara
tindak tutur, ujaran SNR sebenarnya tidak menjadi permaslah terhadap petutur.
Tindak tutur tersebut sudah sesuai dengan konteks pertanyaan yang diajukan oleh
petutur. Permasalahan yang timbul adalah pemberian asosiasi terhadap NU yang
dibaratkan bus umum dengan sopir mabuk, kondektur teler, kenek ugal-ugalan, dan
penumpang kurang ajar tersebar ke publik. Pemberian asosiasi hal-hal
berkonotasi negatif, seperti mabuk, teler, ugal-ugalan, dan kurang ajar
terhadap sebuah organisasi keagamaan merupakan tindakan penghinaan dan
pencemaran nama baik meskipun dalam konteks peristiwa tutur tersebut, mitra
tutur tidak ada masalah. Permasalahan utama yang menyebabkan SNR dikasuskan
secara hukum adalah dia menyampaikan atribut negatif terhadap organisasi
keagamaan di media sosial yang memiliki sifat seperti tempat umum.
Ketiga tuturan, baik yang diucapkan oleh Jrx, ADP, dan SNR sebenarnya ujaran yang biasa dilakukan di kehidupan sehari-hari dengan teman atau rekan yang akrab. Permasalahan hukum muncul karena ujaran tersebut dilakukan di media sosial yang bisa diakses secara umum oleh jutaan orang. Hal tersebut, dalam UU ITE, sudah diatur dengan jelas, khususnya pada pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Muatan penghinaan dalam informasi elektronik tersebutlah yang menyebabkan para petutur tersebut terkena kasus hukum.
Berdasarkan
hasil analisis terhadap tiga ujaran yang menjadi kasus hukum ujaran
kebencian/penghinaan/pencemaran nama baik, ditemukan bahwa ketiga tindak tutur
tersebut berbentuk tindak tutur deklaratif. Secara fungsi tindak tutur, ujaran
yang menggunakan tindak tutur komisif dengan ilokusi mengancam memiliki potensi
melanggar hukum ujaran kebencian seperti yang diucapkan oleh ADP. Fungsi tindak
tutur ekspresif seperti yang diucapkan Jrx dengan ilokusi mengungkapkan kekecewaan
menjadi tindak pidana ujaran kebencian karena pemilihan diksi yang berkonotasi
negatif dan diunggah di media sosial. Begitu juga pada kasus SNR. Fungsi tindak
tutur ekspresif dengan menggunakan diksi berkonotasi negatif dalam pengasosiasian sebuah organisasi masyarakat
yang diunggah di media sosial menjadikan petutur terkena tindak pidana ujaran
kebencian/penghinaan. Dengan kata lain, tindak tutur apa pun yang digunakan
tidak terlalu berpengaruh terhadap penuturnya dalam hal kasus hukum ujaran kebencian/penghinaan.
Yang paling berpengaruh adalah diksi/pilihan kata yang digunakan penutur dalam
mengekspresikan kekecewaan atau kritikan. Diksi-diksi berkonotasi negatif dan
verba yang mengandung tindakan kekerasan/pelecehan adalah hal yang harus dihindari
dalam bertindak tutur di media sosial. Diksi-diksi lebih aman digunakan pada
situasi percakapan lisan langsung dengan mitra tutur yang memiliki keakraban.
Seminar Internasional Riksa Bahasa XIV
e-ISSN: 2655-1780
p-ISSN: 2654-8534
DAFTAR PUSTAKA
Apriyastuti, N.N.A.A. (2017). Bentuk, Fungsi, dan Jenis Tindak
Tutur dalam Komunikasi Siswa di Kelas IX Unggulan SMP PGRI 3 Denpasar. Jurnal
Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan
Ganesha. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIPP/article/view/11960
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPBS/article/view/12411
Kanal
Youtube Refly Harun: SETENGAH JAM DENGAN GUS NUR,
ISINYA KRITIK PEDAS SEMUA!! (https://www.youtube.com/watch?v=ebBnNK5YF4E)
Kasus Ahmad Dhani: Ludahi Pendukung Ahok Hingga Umpatan Idiot (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191230072714-12-460881/kasus-ahmad-dhani-ludahi-pendukung-ahok-hingga-umpatan-idiot)
Kasus "IDI Kacung WHO",
Jerinx Dituntut 3 Tahun Penjara (https://denpasar.kompas.com/read/2020/11/03/12001781/kasus-idi-kacung-who-jerinx-dituntut-3-tahun-penjara)
Posting Komentar