Peradaban (civilization) dalam kaitannya dengan
kolonialisme di Indonesia
(Dasar Pemikiran:
Masinambow)
Konsep civilization ini menginginkan adanya
pengendalian terhadap perilaku bawaan manusia yang radikal, tidak beradab,
biadab, dan kasar menuju ke arah perilaku yang lebih sopan dan halus sesuai
dengan pranata di Eropa (savage state).
Dalam konsep civilization, terkandung unsur keaktifan. Keaktifan itu
berupa kewajiban menyebarkan “kemajuan” itu ke masyarakat pedesaan yang masih
terbelakang. Oleh karena itu, ketika bangsa Eropa melakukan ekspansi ke luar benua
Eropa dengan tujuan perdagangan dan bertemu dengan bangsa-bangsa yang masih
liar dan kurang beradab, bangsa Eropa berusaha menyebarkan dan menanamkan
peradaban mereka ke masyarakat tersebut.
Tujuan penyebaran
peradaban adalah untuk mengubah pola kehidupan liar dan radikal dari masyarakat
tersebut menjadi masyarakat yang memiliki tata pergaulan sosial yang sopan dan
halus sesuai dengan norma-norma kesopanan yang berlaku dalam masyarakat Barat.
Pengubahan ke dalam peradaban Barat ini merupakan bentuk pengendalian
sikap-sikap elementer manusia yang cenderung liar, radikal, dan biadab.
Sikap-sikap elementer tersebut harus dihindari/ ditinggalkan dalam lingkungan
pranata sosial Barat. Karena bangsa Barat waktu itu memiliki kekuatan dan
teknologi yang lebih tinggi, mereka memiliki kuasa untuk menyebarkan peradaban
mereka ke masyarakat yang—menurut mereka—masih belum memiliki peradaban, yaitu
bangsa Afrika dan Asia.
Civilization
melalui kolonialisme bangsa Eropa yang ada di Indonesia terjadi dalam berbagai
bidang, seperti bidang hukum, bidang pendidikan, dan bidang teknologi.
Dalam bidang hukum, civilization bangsa Eropa ke masyarakat
Indonesia dalam kasus kolonialisme adalah penerapan sistem hukum Belanda oleh
bangsa Belanda yang menduduki Indonesia. Undang-undang hukum, baik pidana
maupun perdata, yang berlaku di Indonesia merupakan hasil civilization yang dilakukan oleh Belanda. Walaupun semula sistem
ini hanya berlaku bagi warga Belanda yang ada di Indonesia, pada akhirnya
sistem ini juga diberlakukan untuk masyarakat pribumi juga.
Hukum adalah penanda
terbesar dari peradaban karena dengan adanya hukum, kesewenang-wenangan,
keradikalan, keliaran, dan kejahatan dalam kehidupan sosial bisa dikendalikan.
Hukum yang bersifat memaksa dan memberi sanksi adalah alat terbaik untuk
mengatur pola kehidupan manusia menuju keberadaban. Tanpa hukum, peradaban
tidak akan terwujud dengan baik. Ini jelas sesuai dengan konsep civilization yang mengharapkan adanya
keteraturan kehidupan, kehalusan perilaku, tidak adanya keradikalan, dan
kehidupan yang sesuai dengan pranata sosial Barat.
Sesuai dengan konsep civilization atau peradaban di atas,
yaitu usaha pengendalian terhadap sikap dan sifat manusia yang kurang beradab
dan liar, pemerintah Belanda mengganti sistem hukum yang ada di Indonesia
dengan sistem hukum mereka. Sesungguhnya, Indonesia pada waktu itu sudah
memiliki hukum tersendiri. Hukum yang berlaku di Indonesia waktu itu
disesuaikan oleh kerajaan atau etnis. Tiap kerajaan atau etnis memiliki
hukumnya sendiri. Oleh Belanda, Sistem hukum di Indonesia yang tidak bersifat
menyeluruh atau hanya sebatas wilayah kerajaan-kerajaan ataupun etnis diganti dengan
sistem hukum yang berlaku secara menyeluruh. Sistem hukum yang diacu oleh
Belanda adalah sistem hukum mereka, yaitu Indische Staatregeling. Dengan sistem hukum yang sama atau
menyeluruh, kerancuan hukum yang bisa terjadi di beda daerah di Indonesia bisa
dihindari.
Selain sistem hukum,
bentuk civilization yang dilakukan
oleh bangsa Eropa kepada Indonesia adalah pada sistem pendidikan. Pendidikan di
Indonesia sebelum kedatangan bangsa Eropa berpusat pada pendidikan pesantren
dan pecantrikan. Proses pendidikan pesantren terjadi di masjid-masjid, surau,
ataupun pondok-pondok pesantren tradisional. Pendidikan yang diberikan juga
lebih mengarah pada pendidikan keagamaan. Namun, setelah Belanda menerapkan
politik etis, yaitu memperbolehkan warga pribumi untuk bersekolah secara umum,
sekolah-sekolah Belanda bersaing dengan pesantren dan pecantrikan.
Pada awalnya memang
sekolah Belanda ini hanya untuk kalangan tertentu. Tujuannya adalah untuk
menyediakan tenaga terdidik asli pribumi untuk mengurus administrasi dengan
biaya murah. Namun, lama kelamaan, terutama setelah politik etis, sekolah
dibuka untuk umum. Tentu sekolah ini memiliki kemenarikan tersendiri, yaitu
lulusannya bisa menjadi pegawai pemerintah kolonial.
Perbedaan mencolok dari
sistem pendidikan Belanda ini adalah adanya aturan, penjenjangan, dan lama
waktu sekolah yang jelas yang sangat berbeda dengan pendidikan asli Indonesia,
yaitu pesantren dan pecantrikan. Penjenjangan itu terlihat dengan adanya
sekolah dasar HIS (Hollandsch Inlandsch School) dengan waktu belajar 7 tahun, sekolah lanjutan HBS (Hogere Burger School) dengan waktu belajar 5 tahun, sekolah bagi calon dokter/
Stovia (School Tot Opleiding Van
Inlansche Artsen) dengan waktu belajar 7 tahun, dll.
Konten pendidikan yang
diberikan dalam sistem Belanda lebih beragam, tidak hanya sebatas pendidikan
keagamaan dan moral, tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu sosial, alam, dan
teknologi. Bahkan, sekolah-sekolah Belanda lebih banyak mengajarkan ilmu
pengetahuan daripada ilmu agama.
Selain dalam sistem hukum
dan pendidikan, civilization pun
merambah pada bidang teknologi. Contoh hasil peradaban berupa teknologi yang
diterapkan di Indonesia oleh bangsa Belanda adalah teknologi transportasi.
Transportasi masyarakat Indonesia pada awalnya masih sangat sederhana, yaitu
menggunakan kereta kuda dan pedati. Pemerintahan Belanda, dengan tujuan untuk
mempermudah transportasi dan pengangkutan barang, membangun transportasi kereta
api. Walaupun pembuatan jalurnya melalui kerja paksa yang menelan korban ribuan
jiwa, Indonesia akhirnya mengenal transportasi kereta api.
Posting Komentar