Paradigma
Jurnal Kajian Budaya Vol. 7 No. 2 (2017): 171–181
|
Saefu Zaman
Mahasiswa Program Magister S2 Linguistik, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, saefu.zaman@gmail.com
DOI: 10.17510/paradigma.v7i2.171
ABSTRACT
Golden
Dome Mosque is located in Depok City. Gold plating on its dome is the hallmark
of this mosque. The purpose of building this mosque is as a symbol of Islamic
glory in Indonesia. The purpose of this study is to describe how these meanings
are built on the Golden Dome Mosque, both from mosque constructors and from
people around the mosque. The method the writer uses is analysis of Danesi and
Perron about cultural marks, known as three-dimensional analysis which includes
temporal, notational, and structural analysis. The result of this research
shows that the mosque creators and the people make the meaning of this mosque in
its thirdness level, which is annotative in the notational dimension,
analogical in structural dimension and dynamic in the temporal dimension. The
conclusion of this research is the meaning of a cultural sign is on its
thirdness level where it is based on individual free interpretations.
KEYWORDS
Three-dimensional analysis; Golden Dome
Mosque; semiotics.
1.
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Masjid
merupakan pusat kegiatan umat Islam, yaitu untuk melakukan ibadah dan mengurusi
urusan kemasyarakatan. Sejak awal perkembangan Islam, masjid telah memiliki
kedua fungsi itu. Bahkan, Rasulullah menjadikan masjid pusat pemerintahan pada
masa awal perkembangan Islam.
Sebagaimana
tempat ibadah semua agama, masjid termasuk ruang sakral yang mengandungi
nilai-nilai yang harus dijunjung demi menjaga kesuciannya. Ruang sakral itu
memiliki aturan khusus, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang tingkat
ketaatannya tinggi. Namun, fenomena yang terjadi pada Masjid Dian Al Mahri atau
yang terkenal dengan sebutan Masjid Kubah Emas sedikit berbeda. Masjid itu
dibangun megah dan mewah: lapisan emas terdapat pada lima kubahnya serta
ornamen di dalamnya. Adanya unsur kemewahan itu oleh pembuatnya ditujukan agar
masjid menjadi simbol keagungan Islam di tanah air Indonesia dan juga agar
orang yang melihatnya ingat akan kebesaran Allah SWT. Adanya pemaknaan lain
tentang suatu objek budaya
merupakan bentuk pemaknaan pada level kekeduaan dan keketigaan, yang sudah
lepas dari pemaknaan dasar.
Untuk
mengetahui bagaimana pemaknaan tentang masjid, khususnya Masjid Kubah Emas,
penulis ini akan mendeskripskan pemaknaan yang terjadi pada pembangunan Masjid
Kubah Emas. Bagaimana makna dibentuk, dibagikan, dan diterima juga merupakan
bagian dari kajian ini.
1.2
Pertanyaan Penelitian
1.
Bagaimana pemaknaan atas ruang dibangun dalam pembuatan Masjid
Kubah Emas dalam dimensi struktural, notasional, dan temporal Danesi dan Perron?
2.
Bagaimana
pemaknaan masyarakat tentang Masjid Kubah Emas?
1.3 Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pembangunan makna dalam merancang
dan mendirikan Masjid Dian Al Mahri atau Masjid Kubah Emas. Pemaknaan yang
dipersepsi oleh masyarakat tentang masjid itu juga akan dideskripsikan dengan
menerapkan teori semiotik ruang Danessi dan Perron.
2.1 Masjid
Dian Al Mahri
Masjid
merupakan tempat ibadah umat Islam. Kata masjid berasal dari bahasa Arab, yaitu
sajda, yasjudu , dan sujudan yang bermakna ‘taat, patuh,
serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim.’ Itulah mengapa kata masjid digunakan untuk menyebut tempat/
ruang/bangunan yang digunakan untuk menunjukkan kepatuhan, ketaatan, dan
ketundukan manusia pada Tuhan, yaitu tempat untuk menyembah Tuhan YME.
Dalam perkembangannya, masjid tidak
hanya digunakan sebagai tempat menyembah Tuhan.
Setidaknya ada tujuh fungsi yang diemban oleh masjid.
1.
Tempat
kaum muslim beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
2.
Tempat kaum muslimin beriktikaf, membersihkan diri,
menggembleng batin untuk membina kesadaran dan mendapatkan pengalaman
batin/keagamaan.
3.
Tempat
bermusyawarah kaum muslimin untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan.
4.
Tempat
kaum muslimin berkonsultasi, mengajukan kesulitan, meminta bantuan, dan
pertolongan.
5.
Tempat
membina keutuhan ikatan jamaah dan kegotongroyongan umat.
6.
Tempat
meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan muslimin.
7.
Tempat
mengumpulkan dana dan membagikannya.
Masjid
Dian Al Mahri terletak di Kelurahan Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok.
Masjid itu dibangun oleh Ibu Hj. Dian Juriah Maimun Al Rasyid dan Bapak Drs. H.
Maimun Al Rasyid. Masjid itu mulai dibangun pada April 1999 dan diresmikan pada
31 Desember 2006. Masjid ini memiliki luas 8.000 m2 di atas
tanah seluas 70 hektare. Masjid itu termasuk salah satu yang terbesar dan
termegah di Asia Tenggara, yang mampu menampung 15.000 jamaah salat atau 20.000
jamaah pada majelis taklim.
Masjid
Dian Al Mahri memiliki keunikan atau lebih tepat disebut kemewahan dan
kemegahan konstruksi. Dikatakan demikian karena masjid itu dibangun dengan
lapisan emas pada bagian kubah dan menggunakan
ornamen di dalamnya. Tercatat ada tiga teknik pelapisan emas pada masjid itu,
(1) serbuk emas (prada) yang terpasang di mahkota pilar atau tiang kapital; (2)
gold plating yang terdapat pada lampu
gantung, railing tangga mezanin, pagar mezanin, ornamen kaligrafi kalimat
tasbih di pucuk langit-langit kubah, dan ornamen dekoratif di atas mimbar; dan
(3) gold mozaik yang terdapat di
kubah utama dan kubah menara. Dengan pelapisan emas pada bagian kubah dan
bagian lain, masyarakat lebih banyak mengenal masjid itu dengan sebutan Masjid
Kubah Emas. Penamaan itu timbul karena dari kejauhan emas yang melapisi bagian
kubah terlihat begitu mencolok sehingga orang lebih mudah menyebutnya dengan
kubah emas.
Pembuatan
masjid mewah tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan mendirikan sebuah masjid
yang megah dan indah, yang mampu menjadi simbol keagungan Islam. Filosofinya
adalah bahwa kemegahan dapat mengantarkan perasaan, menggerakkan jiwa, dan
menggenapkan niat untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Keindahan dapat
mengingatkan kita akan kebesaran Sang Pencipta (Al Ayubi 2008).
2.2 Semiotik
Perspektif
semiotik merupakan pendekatan dalam penelaahan suatu fenomena dengan melihatnya
sebagai tanda. Pandangan mengenai tanda tidak lepas dari teori strukturalisme
yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (dalam Hoed 2010). Menurutnya,
tanda terdiri atas penanda (signifiant,
signifier ) dan petanda (signifié,
signified). Dalam bahasa—karena pada awalnya teori strukturalisme digunakan
dalam ranah linguistik—penanda adalah citra bunyi yang muncul dari bibir,
sedangkan petanda adalah konsep yang diacu oleh bunyi itu. Jadi, penanda dan
petanda tidak dapat dipisahkan. Penanda merupakan perwujudan dari petanda dan
petanda adalah konsepsi dari suatu penanda. Konsep Saussure itu kemudian
disebut struktur diadik.
Konsep
tanda diadik Saussure tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh Barthes. Barthes
menganggap bahwa hubungan tanda antara penanda dan petanda tidak hanya terjadi
dalam satu tahap pemaknaan (dalam Hoed 2010). Tahap awal pemaknaan tanda
disebut tahap dasar (sistem primer) yaitu tahap pemaknaan untuk pertama kali.
Di sinilah makna denotatif berada. Namun, ketika pemaknaan tanda sudah
berkembang, muncullah sistem sekunder. Sistem sekunder merupakan tahap
pengembangan tanda. Di sinilah muncul tanda, baik penanda maupun petanda yang
konotatif. Fenomena bahasa semacam majas, metafora,
penyempitan dan perluasan makna merupakan contoh riil dari sistem sekunder
pemaknaan tanda. Sistem sekunder tidak pernah selesai dan akan terus berkembang
seiring dengan pengalaman hidup pengguna tanda (manusia).
Konsep
lain tanda dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce. Jika Saussure membagi tanda
dalam dua dimensi (penanda dan petanda), Peirce mengemukakan konsep tanda dalam
tiga dimensi atau triadik. Tanda, menurut Peirce, terdiri atas representamen,
objek, dan interpretan. Menurut Cristommy (2010), representamen merupakan
sesuatu yang dapat dipersepsi (perceptible);
objek merupakan sesuatu yang mengacu ke hal lain (referensial); interpretan
merupakan sesuatu yang diinterpretasi (interpretable).
Pandangan
lain mengenai semiotik dikemukakan oleh Danesi dan Perron (1999). Semiotik
Danesi dan Perron merupakan gabungan dari pandangan dua aliran besar, yaitu
aliran strukturalisme yang dimotori oleh Ferdinand de Saussure dan Roland
Barthes, dan aliran pragmatis dengan tokohnya, yaitu Peirce. Menurut Danesi dan
Perron, semiotik mengkaji tanda dalam dunia. Dunia adalah semua yang berada di
luar diri manusia.
Menurut
Danesi dan Perron (1999, 83), tanda terdiri atas tanda unwitting dan witting. Unwitting artinya tanda yang diproduksi
di luar kesadaran dan witting artinya
tanda yang diproduksi secara sadar atau sengaja oleh manusia untuk memaknai
dunia. Budaya merupakan tanda yang diproduksi secara sadar atau witting.
Analisis
semiotik berdasarkan pandangan Danesi dan Perron dapat digunakan untuk mengkaji
kebudayaan. Kebudayaan—menurut pandangan mereka—dianalisis melalui analisis
tiga dimensi, yaitu temporal, notational, dan structural.
2.3 Pemaknaan
Sebuah objek
atau entitas di alam pada dasarnya tidak memiliki makna. Dia hanyalah sesuatu
yang natural dan kosong. Makna muncul setelah manusia memaknai objek itu. Makna
itu muncul bersamaan dengan kebudayaan manusia. Sebuah batu adalah benda alam
yang tidak bermakna. Namun, ketika manusia mulai membangun kebudayaan, batu
menjadi sesuatu yang bermakna. Bahkan, makna yang muncul dari batu itu
bermacam-macam. Ada batu yang dimaknai secara spiritual, maka muncul kebudayaan
animisme. Ada batu yang dimaknai secara estetis, maka muncul batu perhiasan.
Ada juga batu yang dimaknai dengan disusun menjadi bangunan, maka muncul
pemaknaan batu sebagai bahan baku untuk membuat rumah dan sebagainya. Jadi,
makna muncul bersamaan dengan pikiran manusia untuk mengolah alam atau yang
biasa disebut kebudayaan.
Seperti
yang sudah dicontohkan di atas, makna sebuah objek tidak terbatas. Makna akan
selalu muncul bersamaan dengan perkembangan kebudayaan manusia sehingga makna
suatu entitas tidak pernah diketahui akhirnya atau dapat dikatakan bahwa makna
akan terus berkembang. Menurut Saussure, makna dibangun atas relasi persamaan
dan perbedaan yang disebut relasi sintagmatis dan paradigmatis.
Konsep
dasar tanda adalah bahwa tanda berdiri di atas referennya. Sebuah tanda pasti
memiliki referen yang diacu olehnya. Pereferensian tanda sendiri terdiri atas
tiga variasi, yaitu secara simbolis (berdasarkan konvensi), ikonis (berdasarkan
kemiripan), dan indeksikal (berdasarkan hubungan keeratan).
2.4 Pemaknaan
Tanda dalam Kebudayaan
Kebudayaan,
menurut Kroeber dan Kluckholn (dalam Danesi dan Perron 1999, 22), berdasarkan
konsensus dijelaskan dalam dua gagasan: (1) that
cultural is away of life based on some system of shared meaning; (2) that it is passed on from generation to
generation throught this very system. Berdasarkan konsep kebudayaan
itu, untuk memaknai suatu objek budaya, kita tidak mungkin hanya melihat objek
budaya itu karena konsepnya mejelaskan bahwa budaya merupakan sesuatu yang
dimaknai bersama oleh sekelompok orang dan juga diturunkan dari satu generasi
ke genarasi berikutnya sehingga pemaknaan objek budaya haruslah melibatkan
konteks kemasyarakatan dan juga konteks waktu.
Berkaitan dengan rumusan tesebut, Danesi dan Perron (1999),
mengemukakan model analisis kebudayaan dalam tiga dimensi, yaitu temporal,
notasional, dan struktural. Dengan ketiga model analisis itu, sebuah objek
budaya dapat dianalisis secara mendalam dan tepat.
Model temporal menganalisis objek budaya dalam dimensi waktu.
Model itu melihat objek budaya berdasarkan waktu yang melingkupi kebudayaan itu
sendiri. Ada tiga axis yang perlu dianalisis dalam model temporal ini, yaitu
sinkronis, diakronis, dan dinamis. Sinkronis mengacu ke hubungan sebuah objek
budaya dengan yang lain pada waktu yang sama. Sementara itu, diakronis
menganalisis objek budaya dalam kaitannya dengan waktu lampau, pada masa
kebudayaan itu hidup dan berkembang. Dinamis berarti melihat makna baru yang
mungkin dibawa atau mengikuti suatu tanda.
Model analisis yang kedua adalah model analisis notasional.
Model itu menganalisis objek budaya sebagai entitas yang memiliki pemaknaan
yang berlapis. Tiga analisis berdasarkan model notasional ini adalah denotatif,
konotatif, dan anotatif. Danesi dan Perron (1999, 94) mendefinisikan tiga axis
ini,
(1) a denotative (firstness) axis that provide its intended
meaning; (2) a connotative (secondness) axis that allows for the sign’s meaning
and; (3) an annotative (thirdness) axis that entails the individual’s own
understending of the sign’s meaning.
Pemaknaan tiga axis yang dikemukakan oleh Danesi dan Perron
dalam kajian budaya dapat disimpulkan: (1) denotasi berupa pemaknaan suatu
objek budaya berdasarkan prinsip primer (penanda dan petanda); (2) konotasi
berupa pemaknaan suatu objek budaya setelah ada konteks budaya yang
melingkupinya; (3) anotasi berupa pemaknaan yang diberikan oleh para individu
secara manasuka atau menurut interpretasi masing-masing.
Model analisis yang terakhir adalah model analisis struktural.
Model itu melihat budaya sebagai struktur. Makna sebuah objek budaya
diidentifikasi secara paradigmatis, sintagmatis, dan analogis. Pandangan
strukturalisme itu diterapkan dalam pengkajian budaya. Budaya dalam pandangan
strukturalisme adalah struktur. Struktur memiliki pengertian bangun teoretis
(abstrak) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam
relasi sintagmatis dan paradigmatis. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan
bahwa kebudayaan terbentuk dari berbagi unsur yang terjalin dalam relasi
paradigmatis dan sintagmatis.
Kebudayaan adalah kumpulan tanda yang
saling terkait yang membentuk satu konsep. Piliang (2010,
91)
menyatakan bahwa dalam pandangan strukturalisme bahasa, tanda
tidak dapat dilihat hanya secara individual, tetapi dalam relasi dan
kombinasinya dengan tanda lain di dalam sebuah sistem. Relasi dan
pengombinasian (rule of combination)
tanda itulah yang disebut sintagmatis dan paradigmatis. Hubungan paradigmatis
atau vertikal adalah relasi berbagai tanda yang memiliki kesamaan dalam
distribusi. Relasi paradigmatis didasarkan pada keberbedaan dan keseleksian (distinctiveness and selectability). Relasi
sintagmatis adalah relasi tanda-tanda yang sesuai dengan konsep yang diinginkan
oleh manusia untuk dibentuk menjadi sesuatu yang bernilai. Sintagmatis dibentuk
berdasarkan prinsip kombinasi dan organisasi (combination and organization).
Pemaknaan
analogis terjadi ketika pemaknaan makna tanda diambil dari pemaknaan tanda lain
secara analogis. Analogi terjadi karena kesamaan yang dimiliki oleh entitas
yang kemudian kemudian diterapkan pada entitas yang lain.
2.5 Kode
Spasial (Spatial Codes)
Ruang
merupakan hasil budaya manusia dalam memaknai teritori atau wilayah. Secara
denotatif, bangunan dan tempat merupakan refleksi dari perlindungan dan
teritori. Namun, secara konotatif, ruang memiliki pemaknaan lain yang
dipengaruhi oleh konteks budaya. Setidaknya, ada tiga kode spasial yang dikenal
dalam masyarakat budaya, yaitu ruang publik ( public), pribadi (private),
dan sakral (sacred). Danesi dan
Perron (1999, 194) menjelaskan ketiga ruang ini sebagai berikut.
Public
spatial codes are those that relate to sites where communal or social
interactions of various kinds take place; private spatial codes are those that
relate to place that individual have appropriated or designated as their own;
and sacred spatial codes relate to those locales that are purported to have
metaphysical, mytical, or spiritual qualities.
Ruang
tersebut di atas dalam masyarakat memiliki ciri yang berbeda sesuai dengan cara
memaknai dan memperlakukannya. Di dalam ruang publik, orang akan lebih bebas
melakukan sesuatu. Di mal yang merupakan ruang publik, orang tidak perlu
melakukan tindakan yang harus dilakukan di ruang private (rumah). Misalnya,
ketika akan memasuki mal, kita tidak perlu mengetuk pintu; tetapi, ketika
memasuki rumah orang yang merupakan ruang pribadinya, kita harus meminta izin
dan mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. Ruang sakral pun berbeda
dengan kedua ruang terdahulu. Di dalam ruang sakral, ada perilaku dan sikap
tertentu yang harus dipatuhi oleh orang yang berada di dalamnya, misalnya tidak
boleh membuat keributan, tidak boleh bermain-main.
3. Metodologi
Penelitian
analitis ini akan menggunakan analisis tanda budaya beradasarkan metode
analisis tiga dimensi yang dikemukakan oleh Danesi dan Perron. Tiga dimensi itu
adalah dimensi temporal, notasional, dan struktural. Subjek penelitian ini
adalah Masjid Dian Al Mahri atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Kubah
Emas. Masjid merupakan hasil budaya masyarakat. Oleh karena itu, masjid dapat
juga dianggap sebagai tanda, yaitu tanda budaya. Objek penelitian ini adalah
pemaknaan yang muncul dari eksistensi Masjid Kubah Emas, baik pemaknaan dalam
pembangunannya maupun pemaknaan masyarakat tentang masjid ini sebagai suatu
bentuk ruang.
4.1 Pemaknaan
Masjid Kubah Emas
Masjid
adalah sebuah tanda budaya. Pada awal pembuatannya, masjid adalah sebuah ruang
atau space yang diberi pewatas tembok
yang dikhususkan sebagai tempat menyembah Tuhan dalam agama Islam. Selain
digunakan sebagai tempat menyembah Tuhan atau salat, masjid juga digunakan
sebagai pusat kegiatan keagamaan masyarakat dan sebagai pusat pengaturan
kegiatan kemasyarakatan.
Pemaknaan
masjid sebagai tempat menyembah Tuhan merupakan pemaknaan dalam dimensi poros
kepertamaan (firstness axis).
Pemaknaan itu sesuai dengan konsep dasar masjid yang berasal dari akar kata sajada, yasjudu, dan sajadan. Pada pemaknaan awal itu, tentu
saja konsep masjid hanya mengacu pada ruang (space) yang digunakan untuk beribadah atau menyembah Tuhan.
Seiring
dengan perkembangan zaman dan persebaran Islam yang semakin luas ke seluruh
dunia, pemaknaan masjid tidak lagi terbatas pada tempat ibadah. Kebudayaan
masyarakat yang bervariasi membuat masjid memiliki fungsi dan bentuk yang
bervariasi juga. Masjid yang semula dibangun sederhana sekarang telah bercampur
dengan budaya setiap masyarakat pemiliknya. Kita dapat melihat bentuk bangunan
masjid yang berbeda di berbagai negara. Keadaan itu tak lepas dari sentuhan
budaya masyarakat dalam membangun masjid. Variasi bentuk masjid yang terjadi di
setiap wilayah atau negara ini merupakan bentuk pemaknaan masyarakat atas
masjid sesuai dengan kebudayaan masyarakat pembangunnya. Di sini pemaknaan
masjid telah berada pada poros kekeduaan (secondness).
Fenomena
yang terjadi sekarang ini adalah masjid dibangun dengan arsitektur unik, mewah,
dan dari bahan yang di luar kebiasaan. Padahal, keunikan, kemewahan, dan bahan
yang tak lazim sebenarnya tak ada kaitannya sama sekali dengan fungsi utama
masjid, yaitu tempat menyembah Tuhan. Sebagai contoh adalah pembangunan Masjid
Dian Al Mahri, Depok. Masjid itu dibangun dengan arsitektur masjid Indonesia,
tetapi dengan menggunakan bahan emas sebagai pelapisnya (pelapis bagian kubah
dan beberapa ornamen). Total ada lima kubah yang dimiliki masjid ini dan
kelimanya dilapisi dengan emas 18 karat. Lapisan emas itu membuat Masjid Dian
Al Mahri lebih dikenal dengan nama Masjid Kubah Emas.
Pelapisan
emas pada kubah dan beberapa bagian Masjid Dian Al Mahri tentu saja merupakan
hasil pemaknaan pembuatnya tentang masjid dan emas. Pemaknaan masjid sebagai
tempat suci yang harus dijunjung tinggi dan pemaknaan emas yang melambangkan
kemewahan dan keanggunan, digabungkan sesuai dengan pemikiran pembuatnya. Di
sini, Masjid Dian Al Mahri telah berada pada pemaknaan keketigaan (thirdness).
Berikut
ini penjelasan mengenai pemaknaan yang terjadi pada Masjid Dian Al Mahri
berdasarkan metode analisis tiga dimensi Danesi dan Perron, yaitu notasional,
temporal, dan struktural.
4.1.1 Analisis Notasional
Secara
notasional, pemaknaan masjid yang paling awal, yaitu sebagai tempat sujud atau
salat merupakan bentuk pemaknaan tanda yang denotatif. Makna itu sesuai dengan
akar kata atau etimologi kata masjid itu sendiri, yaitu sajada, yasjudu, dan sujudan.
Dengan pemaknaan itu, sebuah masjid seharusnya cukup dibangun secara sederhana
asalkan sudah memenuhi dimensi keruangan, yaitu digunakan sebagai tempat
ibadah. Namun, yang terjadi adalah Masjid Dian Al Mahri tidak dibangun oleh
pembuatnya secara denotatif atau pada pemaknaan kepertamaan. Masjid Kubah Emas
dibangun berdasarkan pemaknaan pada tataran keketigaan, yaitu anotatif.
Pemaknaan
keketigaan tidak dilakukan secara langsung dari pemaknaan kepertamaan, tetapi
dilakukan melalui tahap kekeduaan. Pemaknaan kekeduaan tampak pada konstruksi
Masjid Kubah Emas yang masih sama dengan konstruksi masjid pada umumnya di
Indonesia. Yang tampak menonjol adalah kubah dan menara yang secara umum
merupakan ciri budaya pembuatan masjid di Indonesia. Kubah, menara, dan ornamen
yang ada di masjid itu merupakan aplikasi budaya masyarakat yang diterapkan
pada bangunan. Ketika bangunan atau objek budaya sudah bercampur dengan konteks
budaya tempat bangunan atau objek budaya itu berada, dapat dikatakan bahwa
bangunan atau objek itu sudah memiliki makna konotatif
atau pada pemaknaan kekeduaan. Dapat dikatakan seperti itu karena dalam konteks
budaya selalu ada makna lain yang disematkan.
Masjid
Dian Al Mahri yang begitu indah dan megah memiliki tujuan, yaitu untuk
menyimbolkan keagungan Islam di Indonesia. Simbol keagungan itu kemudian
dimaknai oleh pembuatnya dengan menyematkan emas pada bagian tertentu masjid.
Pembangunan masjid dengan kemegahan dan keindahan merupakan hasil dari
pemaknaan keindahan dan kemegahan oleh pembuatnya. Filosofinya adalah bahwa
kemegahan dapat menghantarkan perasaan, menggerakkan jiwa, dan menggenapkan
niat untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Keindahan dapat mengingatkan
kita akan kebesaran Sang Pencipta (Al Ayubi 2008). Pemilihan emas untuk
membentuk makna keagungan merupakan hasil pemikiran pembuat atas pemaknaan
emas. Emas adalah logam mulia yang melambangkan kekayaan, kemewahan, dan
keagungan sehingga keinginan membuat simbol keagungan Islam dimanifestasikan
dengan emas yang dilapiskan pada bagian tertentu masjid, seperti serbuk emas
(prada) yang terdapat pada pilar; gold
plating yang terdapat pada lampu gantung, kaligrafi, railing tangga,
ornamen dekoratif di atas mimbar, dan gold
mozaik solid yang terdapat di kubah utama dan kubah menara.
Pemaknaan
tentang keagungan dengan menyematkan emas pada bagian tertentu masjid beserta
filosofinya merupakan hasil interpretasi pembuat masjid tentang keagungan dan
emas. Walaupun sesungguhnya tidak ada kaitan antara kesucian, kesakralan, dan
ketakziman kepada Tuhan dengan emas, pemberian lapisan emas pada bagian
tertentu masjid tetap dilakukan. Di sinilah pemaknaan pada tahap ketiga muncul,
yaitu pemaknaan tentang keagungan yang dimanifestasikan dengan emas melalui
interpretasi para pembangunnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa Masjid Dian Al
Mahri yang diberi lapisan emas dimaknai pada poros anotatif, yaitu pemaknaan
yang merupakan hasil pemikiran atau interpretasi tiap-tiap individu. Pemaknaan
pada level itu tidak akan sama antara satu inividu dan yang lain. Hal itu,
misalnya, dapat dilihat dari Masjid Agung Jawa Tengah. Pemaknaan tentang
keagungan Islam dan kebanggan masyarakat Jawa Tengah tidak diwujudkan dengan
pemberian lapisan emas, tetapi dengan membuat masjid paling besar di Asia
Tenggara. Jadi, pemaknaan anotatif memang bergantung pada persepsi dan
interpretasi individu.
Pemaknaan
tentang Masjid Kubah Emas juga dapat dilihat dari pemaknaan masyarakat. Dari
sisi ini, pemaknaan masjid juga terdapat pada poros anotatif. Masyarakat tidak
lagi memaknai Masjid Kubah Emas sebatas bangunan tempat beribadah atau
menyembah Tuhan YME. Pemaknaan masyarakat tentang masjid sebagai tempat
beribadah adalah pemaknaan denotatif. Sementara itu, dalam kasus Masjid Kubah
Emas, masyarakat memaknai masjid lebih dari sekadar tempat beribadah.
Masyarakat memaknai masjid, selain sebagai tempat beribadah, juga sebagai
tempat wisata.
Masjid
sebagai tempat beribadah umat Islam sesungguhnya termasuk dalam kategori ruang
sakral. Sebagaimana disebutkan oleh Danesi dan Perron (1999), ruang sakral
adalah tempat manusia percaya bahwa mereka dapat terkoneksi atau mendekatkan
diri dengan Tuhan atau Dewa. Setiap agama atau penganut kepercayaan memiliki
ruang sakralnya masing-masing, seperti masjid, gereja, kuil, wihara, atau
kelenteng. Ruang sakral menuntut perlakuan yang berbeda dari anggota
masyarakatnya. Ada sikap dan perilaku khusus yang harus ditaati oleh orang
ketika berada di ruang itu.
Pemaknaan
masyarakat tentang ruang dalam kasus Masjid Kubah Emas sebenarnya mengalami
pergeseran. Masjid yang merupakan ruang sakral, yang menuntut sikap dan
perilaku tertentu ketika orang berada di dalamnya, sudah bergeser, yaitu yang
semula ruang sakral menjadi ruang publik. Mengapa ruang publik? Karena beberapa
anggota masyarakat datang ke masjid itu hanya bertujuan untuk berwisata,
berfoto-foto, atau sekadar membuktikan keindahan masjid yang cukup terkenal.
Kesakralan masjid sebagai tempat beribadah yang menuntut sikap tertentu menjadi
berkurang. Kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan masalah keagamaan dan
bahkan sekadar berwisata banyak dilakukan oleh anggota masyarakat yang
mengunjungi masjid ini. Di sinilah pemaknaan anotatif terjadi, yaitu pemaknaan
manasuka dari tiap individu tentang suatu ruang yang sebenarnya tidak sesuai
dengan hakikat atau konvensi masyarakat pada umumnya.
4.1.2 Analisis Temporal
Pemaknaan
suatu objek hasil budaya masyarakat selalu berkembang seiring dengan waktu.
Dapat dikatakan bahwa tidak ada makna yang tetap dan terus melekat pada sebuah
objek. Makna akan selalu berubah seiring dengan perubahan waktu, budaya, dan
pelaku budaya.
Pemaknaan
Masjid Kubah Emas secara temporal terjadi secara dinamis. Maksudnya adalah
pemaknaan masjid itu tidak ajek. Awalnya masjid dimaknai sebagai tempat sujud
atau tempat menyembah Tuhan sesuai dengan makna asal kata pembentuk masjid,
yaitu sajada, yasjudu, dan sujudan.
Seiring
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, masjid dimaknai secara
lebih luas, yaitu sebagai pusat berbagai kegiatan masyarakat. Kasus di
Indonesia pun demikian juga. Masjid pada awalnya dibangun untuk tujuan
peribadatan, pembelajaran agama, dan penyebaran agama Islam. Namun, seiring
dengan perubahan kondisi zaman dan peran ulama dan muslim di tanah air, masjid
bertransformasi menjadi pusat kegiatan keagamaan dan juga pusat untuk
membicarakan berbagai kepentingan. Pemaknaan luas terjadi pada masa penjajahan
ketika para ulama banyak berperan dalam perjuangan melawan penjajah. Pada masa
itu, masjid dan pesantren menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah.
Setelah
masa penjajahan, peran masjid kembali berkurang, yaitu sebatas kegiatan
keagamaan. Itu terlihat dari banyaknya masjid yang hanya digunakan sebagai
tempat beribadah dan belajar ilmu agama. Kegiatan kemasyarakatan lain mulai
dipindahkan ke tempat lain. Bahkan, ada pula masjid yang hanya dibuka ketika
waktu salat dan kemudian dikunci kembali setelah waktu salat berlalu dan pada
malam hari. Pemaknaan tentang masjid kemudian berubah lagi pada masa kini
setelah banyak yang juga menyediakan berbagai fasilitas, seperti penyewaan
gedung dan juga dibangun dengan keunikan dan kemegahan tertentu. Sebagai contoh
adalah Masjid Agung Jawa Tengah yang dibangun dengan mewah dan menjadi masjid
terbesar di Asia Tenggara dan Masjid Dian Al Mahri atau Masjid Kubah Emas yang
dibangun sangat mewah dan megah dengan lapisan emas pada kubah dan ornamen di
dalamnya. Pembangunan masjid bukan lagi berada pada pemaknaan primer, tetapi
pada pemaknaan lain yang ingin dicapai.
Dalam
kaitannya dengan Masjid Kubah Emas, pemaknaan dinamis terjadi pada pandangan
masyarakat masa kini tentang masjid itu. Ada makna baru yang muncul dalam benak
masyarakat, yang dibawa oleh Masjid Kubah Emas ini, yaitu masjid dapat juga
digunakan sebagai tempat berwisata atau tempat yang tidak sekadar untuk
beribadah. Masjid memiliki makna baru sebagai sarana rekreasi atau ada yang
menyebut dengan istilah wisata rohani.
4.1.3 Analisis Struktural
Masjid
merupakan hasil budaya suatu masyarakat yang digunakan untuk sarana beribadah
atau berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Sebagai wujud budaya, masjid merupakan
struktur. Begitu juga dalam kasus Masjid Dian Al Mahri atau yang dikenal dengan
Masjid Kubah Emas.
Sesuai
dengan pandangan strukturalisme, struktur sebuah budaya dapat dilihat dalam
poros paradigmatis dan sintagmatis. Dalam hal ini, Danesi dan Perron menambah
satu poros lagi yang berada di antara paradigmatis dan sintagmatis, yaitu poros
analogis (axis analogical).
Secara
paradigmatis, Masjid Kubah Emas dapat disamakan dengan masjid lain yang sama-sama
merupakan ruang sakral umat muslim. Penyamaan itu dapat dilakukan dengan
melihat fungsi umum dan utama masjid, yaitu sebagai tempat beribadah atau
menyembah Tuhan.
Secara
sintagmatis, makna budaya dilihat dari relasi objek budaya dengan lingkungan tempat
budaya itu sekarang berada. Dalam hal ini, pemaknaan Masjid Kubah Emas menjadi
lebih dari sekadar tempat ibadah. Masjid telah menjadi sebuah pusat kegiatan
karena di dalamnya terdapat berbagai fasilitas dan kemewahan. Fasilitas gedung
untuk disewakan dalam pernikahan, fasilitas kantin, dan konstruksi yang mewah
membuat masjid dimaknai secara lebih luas oleh masyarakat sekitar, yaitu tempat
ibadah, tempat berbagai kegiatan masyarakat, dan ikon daerah itu.
Dalam
pembangunannya, pamaknaan secara sintagmatis dilakukan dalam memilih kubah,
menara, ornamen, dekorasi, dan arsitektur yang mencerminkan budaya
keindonesiaan.
Di
sisi lain, kemegahan, kemewahan, dan emas yang menjadi ciri khas masjid ini
membuat masyarakat menganggap masjid ini sebagai tempat yang dapat digunakan
sebagai tempat berwisata. Pemaknaan ini merupakan pemaknaan pada tahap
keketigaan, yaitu analogis. Pemakanaan analogis ternyata yang paling melekat
dalam benak masyarakat dalam memaknai Masjid Kubah Emas. Itu terbukti ketika
orang mendengar nama Masjid Kubah Emas atau Masjid Dian Al Mahri; yang
terbersit dalam pikiran orang adalah mewah, agung, dan menarik, bukan sekadar
tempat beribadah.
Pemaknaan
analogis juga dilakukan dalam tahap pembangunan masjid tersebut. Ada proses
analogis yang dilakukan pembuatnya dalam membangun masjid itu. Seperti yang
sudah dijelaskan di atas, masjid itu dibangun dengan tujuan untuk menjadi
simbol keagungan Islam yang direpresentasikan dalam bangunan yang mewah dan
indah. Untuk mencapai makna itu, pembuat melakukan analogi dengan berbagai
objek yang dapat menunjukkan keindahan dan kemewahan yang pada akhirnya
mencapai makna agung. Pemilihan emas sebagai pelapis bagian tertentu masjid
tentu bukan tanpa alasan. Pemilihan emas dilakukan karena emas dalam masyarakat
merupakan simbol kekayaan, kemewahan, dan keindahan. Ada proses analogis yang
dilakukan para pembuat masjid ini dalam memilih materi yang perlu disematkan
pada masjid ini agar makna ’agung‘ tercapai, yaitu emas.
5. Kesimpulan
Makna suatu
objek budaya tidak pernah tetap. Makna suatu objek budaya akan selalu berubah
seiring dengan perubahan waktu, budaya, dan masyarakat penginterpretasinya.
Ruang merupakan suatu bentuk objek budaya. Ruang dalam masyarakat dibedakan
kodenya, yaitu ruang publik, ruang pribadi, dan ruang sakral. Pemaknaan ruang
pun sama dengan pemakanaan objek budaya yang lain, yaitu selalu berubah.
Masjid
Dian Al Mahri merupakan ruang. Seperti tempat ibadah lain, masjid itu juga
termasuk dalam ruang sakral. Namun, pemaknaan masjid yang terkenal dengan
sebutan Masjid Kubah Emas itu juga mengalami perubahan. Pemaknaan tentang
masjid itu, baik dari pembuatannya maupun dari masyarakat, berada pada
pemaknaan keketigaan, yaitu anotatif pada dimensi notasional, analogis pada
dimensi struktural, dan dinamis pada dimensi temporal. Pemaknaan tanda budaya
berada pada pemaknaan keketigaan ketika dilakukan secara bebas berdasarkan
interpretasi individu.
Daftar
Referensi
Al
Ayubi, Humaidi H. 2008. Fungsi dan Kegiatan Masjid Dian Al Mahri sebagai Objek
Wisata Rohani. Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah.
Benny H. Hoed. 2010. Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik
dan Hermeneutik. Dalam Semiotika Budaya, peny. Tommy Cristomy dan Untung
Yuwono, 51–76. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya.
Danesi, Marcel dan Paul Perron. 1999. Analyzing Cultures: An Introduction and Handbook. Indiana: Indiana
University Press.
Cristomy, Tommy. 2010. Peircean dan Kajian Budaya. Dalam Semiotika Budaya, peny. Tommy Cristomy
dan Untung Yuwono, 109–146. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya.
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Semiotika sebagai Metode dalam
penelitian Desain. Dalam Semiotika Budaya,
peny. Tommy Cristomy dan Untung Yuwono, 87–108. Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya.
Jurnal lengkap dapat diunduh pada Jurnal Paradigma, FIB, Universitas Indonesia
Jurnal lengkap dapat diunduh pada Jurnal Paradigma, FIB, Universitas Indonesia
Posting Komentar