Dua data historis—tentang pilihan politis terhadap bahasa di
Indonesia—telah tercatat sebelum bahasa Indonesia diterima sebagai bahasa
negara yang dimaktubkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pertama, prasaran Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Guru di Den Haag pada tahun 1916 yang “meramalkan” bahwa bahasa Melayu akan menjadi bahasa persatuan
di wilayah Hindia Belanda. Kedua, rumusan naskah persiapan Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II, yang diadakan pada tanggal 27—28 Oktober
1928, yang semula berbunyi “Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Melayu” (saran M. Yamin) menjadi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi
bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”
(saran perubahan itu berasal dari M. Tabrani).
Kongres Pemuda II tersebut menghasilkan sebuah keputusan
penting yang
disebut sebagai Sumpah Pemuda dan telah mendudukkan bahasa
Indonesia
sebagai bahasa persatuan. Dalam keputusan itu tidak secara
eksplisit
ditentukan dialek bahasa Melayu mana yang dijadikan bahasa
persatuan itu,
padahal masa itu sudah berada ialah bahasa Melayu rendah atau
bahasa
Melayu kasar dengan berbagai subdialeknya di pelbagai wilayah.
Dialek Melayu
ini juga digunakan secara luas sebagai bahasa media massa dan
bahasa sastra
populer. Pada waktu itu, pihak Pemerintah Belanda saja yang
secara implisit
menetapkan dialek Melayu Riau sebagai bahasa yang digunakan
dalam
pengajaran di sekolah dan sebagai bahasa resmi dalam semua
terbitan Balai
Pustaka.
Indonesia mempunyai bahasa nasional yang mempersatukan ratusan
bahasa
daerah dan dialek. Pernyataan sikap politik bangsa Indonesia “Kami putra dan
putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia” telah
menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang
menyatukan
keanekaan dalam masyarakat Indonesia. Bahkan, penutur bahasa
Jawa dan
bahasa Sunda yang jumlahnya lebih banyak daripada penutur
bahasa Melayu
tidak memberikan protes apapun, bahkan memberikan dukungan.
Sebagai
gambaran, Anton M. Moeliono (2000) menyatakan, pada tahun 1928
populasi
orang Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
ibu hanya
4,9%, sedangkan bahasa Jawa 47,8% dan Sunda 14,5%.
Pilihan politis terhadap bahasa di Indonesia prakemerdekaan itu
menjadi jelas
setelah Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I, tanggal 25—28 Juni
1938, di Solo.
Dalam kongres itu Ki Hadjar Dewantara memberikan prasaran yang
kemudian
menjadi pegangan apa yang disebut bahasa Indonesia, “Yang
dinamakan
‘Bahasa Indonesia’ yaitu bahasa Melayu yang sungguh pun
pokoknya berasal
dari ‘Melajoe Riaoe’ akan tetapi yang sudah ditambah, diubah
atau dikurangi
menurut keperluan zaman dan alam baharu, hingga bahasa itu lalu
mudah
dipakai oleh rakyat di seluruh Indonesia; pembaharuan bahasa
Melayu hingga
menjadi bahasa Indonesia itu harus dilakukan oleh kaum ahli
yang beralam
baharu, ialah alam kebangsaan Indonesia”.
Berdasarkan latar belakang KBI I tersebut dan prasaran-prasaran
yang
dikemukakan di dalamnya, sejauh ini dipahami bahwa bahasa
Indonesia yang
digunakan hingga kini itu berasal dari bahasa Melayu Riau,
bukan dari bahasa
Melayu Pasar (sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana
sejarah,
seperti Kahin, dan ahli linguistik Amerika, seperti Hopper).
Hal yang penting
untuk dicatat ialah luasnya penggunaan bahasa Melayu Rendah,
yang juga
Melayu Pasar atau Melayu Cina, merupakan faktor yang sangat
menentukan
mengapa bahasa Indonesia diterima di seluruh Indonesia.
Terbukti dalam perkembangannya, melalui vernakularisasi,
pilihan-pilihan
politik bahasa itu telah mengantarkan bahasa Indonesia menjadi
bahasa
masyarakat baru yang bernama Indonesia. Bahasa Indonesia telah
mampu
menyatukan berbagai lapisan masyarakat yang berbeda latar
belakang sosial
budaya, bahasa, dialek, dan etnik ke dalam satu kesatuan bangsa
Indonesia.
Lebih dari itu, bahasa Indonesia yang bagi sebagian besar
masyarakat
Indonesia merupakan bahasa kedua, kemudian berkembang menjadi
bahasa
pertama atau bahasa ibu, bahkan tumbuh variasi-variasi takbaku
sehingga
bahasa itu dapat digunakan untuk segala keperluan emotif dan
sosial.
Bahasa Indonesia pun kemudian mendapat pengukuhannya ketika
perjuangan
politik bangsa Indonesia mencapai puncaknya pada tanggal 17
Agustus 1945.
Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara yang merdeka
dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 32 dan 36. Undang-Undang nomor
24 tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan
dan Peraturan Pemerintah nomor 57 tahun 2014 tentang
Pengembangan,
Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan
Fungsi
bahasa Indonesia. Setelah itu berkembanglah penjabarannya dalam
segala
sektor kehidupan nasional yang makin kompleks dalam pendidikan,
ilmu
pengetahuan, administrasi negara, perundang-undangan, politik,
perdagangan,
pers, dan pergaulan antaretnik/antarsuku.
Dalam menghadapi tantangan itu, pelbagai pertemuan lokal dan
nasional
diselenggarakan untuk merancangkan penggunaan bahasa Indonesia
dalam
segala bidang kehidupan secara lebih terperinci dan lebih
sistematis. Badan
perancangan bahasa dibentuk, yaitu antara lain Instituut voor Taal en Cultuur
Onderzoek (ITCO) (1947), Balai Bahasa (1948), Lembaga Bahasa dan Budaya
(1952), Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (1959), Direktorat
Bahasa dan
Kesusastraan (1966), Lembaga Bahasa Nasional (1969), Pusat
Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1974), Pusat Bahasa (2000), dan Badan
Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa (2010). Kajian tentang masa depan bahasa
di Indonesia
dilakukan dan diperdebatkan oleh para sarjana dan para peminat.
Beberapa
kongres bahasa diselenggarakan setelah Kongres Pertama di Solo
pada tahun
1938 itu, yakni Kongres Kedua di Medan pada tahun 1954 sampai
Kongres
Kesepuluh di Jakarta pada tahun 2013.
Permasalahan yang menyangkut kebahasaan di Indonesia sangat
kompleks.
Permasalahan itu tidak hanya menyangkut bahasa Indonesia,
tetapi juga
bertemali dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh
keanekaragaman
bahasa daerah dan penggunaan bahasa-bahasa asing tertentu,
terutama
bahasa Inggris. Seiring sejalan dengan persoalan bahasa itu,
persoalan bahasa
sebagai sarana ekspresi estetis turut menambah kekompleksan
persoalan
kebahasaan. Dalam sejarah bangsa Indonesia, ekspresi estetis
menggunakan
bahasa tulis telah berlangsung sejak abad ke 3—4 M dengan
peninggalan
tulisan yang dapat dipelajari hingga saat ini berupa prasasti
batu.
Perkembangan berikutnya, media penulisan beralih pada lontar,
kayu, kulit,
dan kertas. Bahasa dan aksara yang digunakan pun bervariasi
sesuai dengan
situasi sosial, politik, dan gelombang budaya yang dihadapi
masyarakat.
Penggunaan bahasa dan aksara yang pernah tercatat dalam sejarah
sastra di
Indonesia, antara lain, bahasa Sansekerta dengan aksara
Pallawa, bahasa
Jawa/Sunda dengan aksara Jawa/Sunda, bahasa Melayu dan Jawa
dengan
aksara Arab. Pada masanya ekspresi estetis yang menggunakan
sarana bahasa
tulis tersebut memuat, antara lain, ungkapan sabda-sabda raja,
silsilah para
raja, ajaran-ajaran agama. Bahasa tulis, pada masa itu,
terbatas pada
kalangan tertentu dan digunakan hanya pada subjek tertentu
serta ditulis
dengan cara tertentu pula. Dengan sifat adiluhung dan cenderung
eksklusif
tersebut, bahasa tulis pada masa itu disebut pula susastra,
tulisan yang
adiluhung.
---
Diambil dari Renstra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Saefu Zaman.
Posting Komentar