unsur-unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Maksud dari dalam yaitu unsur tersebut masuk atau bagian dalam karya sastra itu sendiri. Secara umum unsur intrinsik karya sastra mencakup tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan padahan, suasana, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.
1. Tema
Tema merupakan dasar cerita yaitu pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra (suharianto). Tema merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun karya sastranya. Tema ini merupakan hal yang ingin disampaikan dan dipecahkan oleh pengarangnya melalui ceritanya. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu dari awal sampai akhir.
2. Alur Cerita
alur atau plot dapat didefinisikan sebagai cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh (Suharianto).
Alur dalam cerita terdiri atas lima bagian, yaitu: pemaparan/ pendahuluan, penggawatan, penanjakkan, puncak atau klimaks, dan peleraian.
Alur sendiri dilihat dari cara menyusun kejadian-kejadian dalam cerita dibagi menjadi dua yaitu alur lurus dan alur sorot balik. Dikatakan beralur lurus ketika cerita disusun mulai kejadian awal diteruskan dengan kejadian-kejadian selanjutnya sampai pada akhir cerita. Dan dikatakan beralur sorot balik (flashback) jika cerita disusun dari bagian belakang/ akhir dan kemudian bergerak ke muka menuju titik awal cerita. Namun ada pula alur yang menerapkan dua cara penceritaan di atas secara bergantian. Kedua cara tersebut diajalin secara padu sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua cerita yang terpisah.
Selain dari cara menyusun kejadian-kejadian alur juga dibedakan dari kepaduan alur cerita. Pembedaan ini menimbulkan dua buah model penceritaan yaitu cerita beralur rapat dan alur renggang. Alur rapat menghendaki cerita hanya terpusat pada suatu tokoh, dan alur renggang menghendaki cerita pada tokoh utama dan disertai pada tokoh-tokoh lain yang ada dalam cerita.
Dalam alur rapat tokoh selain tokoh utama memang dimunculkan dan berkembang, tetapi alur tokoh pembantu tersebut pada akhirnya menyatu dengan tokoh utama karena perkembangan itu hanya untuk mendukung cerita sehingga kepaduan / keterpusatan cerita tetap terjaga. Berbeda dengan alur renggang yang memungkinkan pembaca terbelah perhatiannya terhadap semua tokoh cerita.
Dalam menjalankan alur sebuah cerita biasanya pengarang menggunakan tahap-tahap berikut:
a. pemaparan atau pendahuluan, yaitu bagian cerita tempat pengarang mulai melukisakan suatu keadaan sebagai awal cerita.
b. Penggawatan, yaitu bagian di mana tokoh-tokoh cerita mulai bergerak. Di bagian ini konflik mulai dimunculkan.
c. Penanjakan, yaitu bagian ketika konflik-konflik yang sudah dimunculkan mulai memuncak.
d. Puncak atau klimaks, yaitu bagian yang melukiskan peristiwa mencapai puncaknya.
e. Peleraian, yaitu bagian di mana pengarang memberikan pemecahan segala peristiwa yang telah terjadi dalam cerita.
3. Penokohan
Cerita sastra merupakan cerita yang mengisahkan kehidupan manusia dengan segala serbaneka kehidupannya. Dengan pemahaman tersebut tentulah diwajibkan adanya tokoh sebagai perwujudan dari manusia dan kehidupannya yang akan diceritakan. Tokoh dalam cerita ini akan melakukan tugasnya menjadi “sumber cerita”. Tokoh merupakan benda hidup (manusia) yang memiliki fisik dan memiliki watak. Penokohan
Penokohan sering juga disebut perwatakan, yaitu pelukisan mengenai tokoh cerita. Pelukisan ini mencakup keadaan lahir dan batin tokoh. Keadaan lahir merupakan bentuk jazad tokoh dan siapa tokohnya, keadaan lahir mencakupi pandangan hidup tokoh, sikap tokoh, keyakinan, adat istiadat, dll.
Dalam menyampaikan penokohan pada cerpen atau novel pengarang menggunakan 2 cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan secara langsung ketika pengarang langsung menguraikan, menggambarkan keadaan tokoh. Pengarang langsung menyampaikan bagaimana lahiriah tokoh dan watak yang dimiliki tokoh tersebut. Penyampaian tak langsung dilakukan pengarang secara tersamar. Misalnya dengan melukiskan bagaimana tokoh berbicara, bagaimana tokoh bersikap, bagaimana tokoh menanggapi masalah, dan sebagainya yang pada akhirnya pembaca dapat membayangkan dan menyimpulkan sendiri bagaimana tokoh tersebut.
4. Latar
Segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia pasti tidak akan lepas dari ikatan ruang dan waktu. Begitu juga dalam cerpen ataupun novel yang mana itu merupakan penceritaan kehidupan manusia dan segala permasalahanya. Tempat kejadian dan waktu kejadian akan senantiasa menjalin setiap laku kehidupan tokoh dalam cerita. Dengan demikian dapat diartikan bahwa latar adalah tempat dan atau waktu terjadinya cerita.
Latar atau biasa juga disebut setting dalam karya sastra prosa (cerpen dan novel) tidak hanya berfungsi sebagai penunjuk tempat dan waktu cerita. Latar dalam karya sastra prosa ini juga dijadikan sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang dengan ceritanya.
Menurut Nurgiyantoro (2004:227—233) latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, antara lain sebagai berikut.
a. Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu serta inisial tertentu.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ” kapan ” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ”kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
c. Latar Sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks serta dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Selain itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
5. Tegangan dan Padahan
Suspens atau tegangan merupakan bagian cerita yang membuat pembaca terangsang untuk melanjutkan membaca cerita. Keingina tersebut muncul karena pengarang seolah-olah menjanjikan pembaca akan menemukan sesuatu yang pembaca harapkan. Sedangkan padahan atau foreshadowing merupakan bagian cerita yang memberikan gambaran tentang sesuatu yang akan terjadi. Jadi padahan dan tegangan adalah tidak dapat dipisahkan, dengan kata lain dengan adanya padahan maka tercipta tegangan.
6. suasana
Seperti halnya waktu dan tempat pada sebuah cerita, suasana juga merupakan sebuah hal yang selalu mengiringi suatu kejadian. Suasana dapat diartikan sebagai segala peristiwa yang dialami yang dialami oleh tokoh pada suatu cerita. Misalnya suasana menyedihkan, menyenangkan dan lain sebagainya.
Cerita merupakan gambaran yang menampilkan perikehidupan tokoh. Penempatan posisi pengarang terhadap tokoh untuk menampilkan cerita mengenai perikehidupan tokoh dalam cerita itulah yang dinamakan pusat pengisahan (point of view) atau kadang disebut juga sudut pandang.
Beberapa jenis pusat pengisahan:
• Pengarang sebagai pelaku utama cerita, di sini pengarang menyebutkan dirinya sebagai “aku” sehingga cerita seakan-akan merupakan kisah atau pengalaman diri pengarang.
• Pengarang ikut bermain tetapi bukan sebagai tokoh utama. Dalam pusat pengisahan ini cerita merupakan kisah orang lain tetapi pengarang terlibat di dalam kisah/cerita.
• Pengarang serba hadir. Dalam pusat pengisahan ini pengarang tidak terlibat sama sekali dalam cerita atau tidak berperan apa-apa. Pelaku utama merupakan orang lain, yang dinyatakan dengan “dia” atau nama tokoh. Namun pada pusat pengisahan jenis ini pengarang serba tahu / mengetahui segala yang ada dalam diri tokoh serta pikiran dan perasaan tokoh.
• Pengarang peninjau. Pusat pengisahan ini hampir sama dengan pengarang serba hadir. Namun yang membedakan adalah pengarang di sini seoalah-olah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan tokoh dan pikiran tokoh. Pengarang di sini hanya sebatas menceritakan apa yang terlihat dalam cerita.
8. Gaya Bahasa
Bahasa dalam karya sastra prosa (cerpen dan novel) memiliki fungsi ganda yaitu sebagai penyampai maksud pengarang dan sebagai penyampai perasaan. Pengarang dalam membuat karya sastra bukan hanya sebatas ingin memberitahu pembaca akan apa yang dialami tokoh, namun pengarang juga bermaksud mengajak pembaca merasakan apa saja yang dialami oleh tokoh dalam cerita. Karena keinginan inilah gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra sering berbeda dengan gaya bahasa pada kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai maksud pengarang yaitu mengajak pembaca merasakan apa yang dialami tokoh biasanya pengarang menggunakan kalimat-kalimat khusus ( pigura-pigura bahasa ) dengan beraneka jenisnya, seperti penggunaan berbagai macam majas untuk melukiskan keadaan / peristiwa tertentu. Namun demikian yang terpenting dalam mencapai maksud tersebut bukanlah penggunaan pigura-pigura bahasa, tetapi bagaimana pengarang dapat menghidupkan lukisan-lukisan kejadian dalam cerita dengan pilihan kata yang tepat dan penyusunan kalimat-kalimat yang efisien dan efektif. Pemilihan kata dan penyusunan kalimat yang baik akan pembaca mampu mengimajikan dan masuk dalam "rasa" cerita (bersifat imajinatif).
Posting Komentar