Pada hakikatnya puisi adalah ungkapan perasaan atau pikiran penulisnya tentang sesuatu yang ada di sekeliling penulis. Sesuatu tersebut bisa berupa keadaan lingkungan sekitar penulis, pengalaman penulis, pikiran penulis ataupun masalah yang tengah dihadapi oleh penulis. Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi juga dapat diartikan sebagai gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan taanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus (KBBI 2003: 903).
Menurut Waluyo (dalam Alfiah 2009: 22) puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata yang kias atau imajinatif. Dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan hasil karya dari ungkapan rasa seseorang yang disusun dalam bentuk bait dengan bahasa yang dipadatkan dan memiliki rima serta dengan pilihan kata yang paling menggambarkan apa yang hendak disampaikan penulis.
Berbeda dengan karya sastra prosa, karakteristik karya sastra berbentuk puisi bersifat konservatif dan intensif. Pengarang tidak menjelaskan secara terperinci apa yang ingin diungkapkanya, melainkan justru sebaliknya. Pengarang hanya mengutarakan apa yang menurut perasaan atau pendapatnya penting saja. Pengarang mengadakan konsentrasi dan intensifikasi atau pemusatan dan pemadatan. Konsentrasi dan intensifikasi tersebut dilakukan pengarang bukan hanya terbatas pada masalah yang akan disampaikan, melainkan juga pada cara menyampaikanya. Karena itu penghematan unsur bahasa juga akan terasakan dengan jelas pada bentuk karya sastra puisi ini. Kata-kata yang tidak berfungsi benar mendukung makna akan dihilangkanya. Demikian pula halnya dengan tanda baca. Bahkan tanda baca hampir ditinggalkan sama sekali (Suharianto 2005: 34-35).
Bahasa puisi yang memiliki sifat pemusatan dan pemadatan mengakibatkan bahasa dalam puisi tidak harus sesuai dengan kaidah penulisan Bahasa Indonesia yang baku. Sehubungan dengan sifat pemusatan dan pemadatan ada beberapa sarana yang dimiliki oleh puisi untuk mengupayakan kedua sifat tersebut. Sarana tersebut dapat dibedakan mulai dari tataran visual sampai pada tataran yang berkaitan dengan makna. Tataran visual berupa penyusunan sajak menjadi beberapa bait, dan penyusunan larik-larik menjadi bait. Penyusunan bait yang beraneka ragam dan penggunaan huruf juga merupakan bagian dari sarana visual ini. Dalam tataran makna terdapat pemilihan dan penggabungan berbagai kata, penggunaan simbol-simbol, pemanfaatan berbagai majas atau bahasa figuratif. Adapun fungsi dari penggunaan bahasa tersebut adalah untuk mendapatkan fungsi puitik. Menurut Roman Jacobson (dalam Soedjarwo 2004: 17) fungsi puitik puisi terletak pada pemusatan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri, atau keterarahan pesan itu sendiri.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik puisi dapat kita lihat pada penggunaan bahasa dan bentuk puisi. Kata-kata yang sering menimbulkan gambaran abstrak, dalam puisi disampaikan menjadi lebih nyata atau konkret dengan berbagai sarana dan teknik yang dapat membangkitkan imaji pembaca. Tujuan dari penggunaan berbagai sarana di atas adalah agar pesan puisi dapat disampaikan secara intensif dan utuh kepada para penikmatnya.
Dalam perkembanganya di tanah air, puisi secara umum dibagi atas 4 jenis yaitu:
(1) Puisi Diafan yaitu puisi puisi yang “mudah dilihat”, artinya mudah dipahami isinya karena hampir semua kata-katanya sangat terbuka, tidak banyak memanfaatkan lambang-lambang atau kiasan-kiasan. Apa yang dimaksud penyair lekat benar dengan kata-kata yang dipilihnya, karenanya puisi jenis ini biasa juga disebut puisi transparan;
(2) Puisi Prismatis, yaitu puisi yang mengandalkan pemakaian kata-kata dalam bentuk-bentuk pelambangaan atau kiasan-kiasan. Kata-kata dalam puisi jenis ini sering mempunyai kemungkinan makna lebih dari satu atau poly-interpretable bahkan kadang-kadang juga menunjuk pada pengertian yang agak lain atau bersifat konotatif;
(3) Puisi Kontemporer, termasuk dalam rumpun puisi prismatis, hanya bedanya puisi kontemporer lebih mengandalkan permainan bunyi bukan kata sebagai penyampai maksud penyair. Hal yang diutamakan dalam puisi ini bukanlah “arti” yang ingin disampaikan penyair, melainkan “kesan “ yang ditimbulkan oleh puisi tersebut;
(4) Puisi Mbeling, diartikan sebagai bentuk-bentuk puisi yang tidak mengikuti aturan. Yang dimaksud aturan puisi di sini adalah ketentuan-ketentuan yang umumnya berlaku dalam penciptaan suatu puisi (Suharianto 2005: 49-54).
Posting Komentar