Perjalanan hidup memang rumit. Terkadang dia berpihak pada kita, terkadang ia juga seakan menekan kita. Terkadang pula perjalanan hidup seakan acuh terhadap kita sehingga membuat kita seakan tak bermakna.
Tangis, sedih, dan duka merupakan keniscayaan dari perjalanan hidup yang penuh liku, yang mana seakan hidup ini tidak berpihak pada kita. Kesemuanaya itu selalu muncul berbarengan dengan semua perasaan yang mengganjal hati. Kegagalan, kelemahan, penghianatan, perpisahan, permusuhan dan segala reka-neka penekanan terhadap pikiran merupakan paduan dan contoh yang sempurna bagi perjalanan hidup yang berat. Yang tak berpihak pada diri kita.
Namun, Tuhan itu memang Maha Adil, Tuhan tahu orang takkan bisa bertahan hidup lama ketika ia hanya menjalani hidup yang tak bersahabat dengan dia. Tuhan Maha Tahu akan kemampuan makhluknya. Tuhan menciptakan pengobat dari segala luka, duka, dan kesedihan tiap manusia. Ya, dengan cinta, sayang, kesenangan, kebahagiaan, kekayaan dan segala pengharapan manusia terhadap hidupnya.
Dialah Yang Maha Mengetahui, Dialah Yang Maha Mencintai. Itulah yang aku pegang dari dulu. Yang menuntunku untuk tidak pernah menyerah. Aku sangat sadar bahwa segala kegagalan, kesedihan, kedukaan adalah rencana maha dahsyat dari Sang Maha Pencipta. Semua pasti ada maksudnya. Walaupun kesedihan dan kegagalan sering kualami dan tidak sedikit dari itu yang menggoyahkan keyakinanku itu tapi aku akan tetap kembali pada jalurku, jalur yang aku yakini akan bisa membawa kebahagiaan yang hakiki untuk kehidupanku ini.
Bagian 1
Aku berlari terus berlari. Aku tak peduli sekitarku. Semakin lama semakin kupercepat lariku. Berlari dan terus berlari. Dibelakangku terdengar suara berlari dari anak-anak yang lain. Mereka berhamburan ketika melihat sebuah layang-layang putus. Aku dan mereka berlari berebut mendapatkan layang-layang itu. Aku berlari paling depan disusul oleh sahabatku, bayu dan surya serta anak-anak temanku bermain.
Aku berlari tanpa memandang kanan-kiri, tak peduli apa dan siapa yang kulalui, aku hanya berlari dan berlari. Pandangan hanya kuarahkan ke atas, pada sebuah benda yang sedang terbang tak menentu dipermainkan angin. Aku tak mau lepas pandang dari benda itu, karena sekali lepas mungkin takkan kulihat atau kugapai benda itu. Begitulah prinsipku, aku takkan melepas pandang dari apa yang aku inginkan.
Pandanganku masih saja kuarahkan pada layang-layang itu, sembari berlari berkejar berebut dengan teman-temanku. Sesekali kutengok belakang dimana anak-anak ikut mengejar layang-layang itu, kulihat bayu yang badanya gempal berlemak sudah mulai kepayahan, terengah-engah dan perlahan-lahan surut tertinggal jauh olehku, dengan napas setengah-setengah ia pun bernapas sambil membungkukan badanya. Pikirku ” Berkurang satu pesaingku mendapatkan layang-layang itu”. Namun dibelakangku masih ada Surya. Dialah sahabatku yang paling kuat berlari. Dia sangat jago kalau disuruh berlari, akupun sering kepayahan ketika balapan lari denganya, tapi dalam batinku terdapat kekuatan lebih untuk tetap berlari meyongsong layang-layang itu sehingga aku tak kalah cepat berlarinya dengan surya.
Tiba-tiba dari arah tikungan sebuah benda hitam berkilau datang kearahku. Benda besi dengan empat kaki berbentuk bulat datang menyongsongku dari samping. Setelah itu semua menjadi gelap, kosong, dan tak dapat kurasakan apa-apa. Hanya setitik kesadaran yang kumiliki, tapi seluruh badan ini sungguh tak dapat ku ajak kompromi. Tangan, kaki, kepala dan badanku tak dapat lagi berfungsi, semua terasa berat. Bahkan mata dan mulutpun tak bisa kubuka. Gelap, gelap dan semakin gelap. Tiap detik kurasakan kesunyian yang semakin menghujam, semakin menyurutkanku dari kesadaran.
Cahaya mulai masuk kepelupuk mataku. Semakin lama semakin terang cahaya itu. Masuk dan terus masuk hingga membuat mataku silau dan ngilu. Tiba-tiba sebuah mata indah tapi terlihat begitu sayu dan bengkak tepat berada di depan mataku. Bisa kurasakan keteduhan yang begitu mendalam ketika kulihat mata itu, kesejukan jiwa yang lebih dari sekadar kesejukan dunia. Kesejukan yang akan dirasakan setiap orang yang memandang berjuta keindahan. Surga dunia. Kualihkan pandanganku pada wajah utuh pemilik mata indah itu. Begitu cantik dan penuh kasih. Begitu melindungi dan penuh cinta. Kulihat lagi sosok itu secara utuh, ” Mama ” bisikku. Sosok itu kemudian terlihat begitu terkejut dan bahagia, dan berseri kembali. Kulihat ada sejuta pengharapan lagi yang muncul di wajah penuh kasih itu. Seketika pelukan hangat kurasakan dari sosok yang begitu bahagia itu. Air mata pun terkucur dari mata indah itu, yang aku yakin air mata itu, air mata harapan dan kebahagian. Penuh sukur bagi sang Pencipta. Ya itulah Ibuku. Ibu yang senantiasa mendampingiku, merawatku, mengasihiku dan mengajariku berbagai arti kehidupan.
” Za, ini mama, kamu tidak apa-apa nak? Kamu sudah sadar? Mama sangat kuatir dari kemarin melihat kamu tidak sadar-sadar.”
suara itu terdengar sayup-sayup olehku, namun sangat jelas dan mendalam makna yang kurasakan dari kata-kata itu. Kata-kata kebahagian dan penuh sukur yang terucap ketika kekhawatiran seorang ibu akan kehilangan buah hatinya menemui harapan. Ingin sekali saat itu aku memeluk ibu, tapi badanku masih terasa berat untuk melakukan itu, kaku, dan sakit.
Kulihat seisi ruangan tempatku terbaring, begitu asing yang kurasakan. Hampir seisi ruangan ini di dominasi warna putih dan tampak pucat kaku. Kupandangi seluruh benda yang ada tampak begitu asing, meja putih dengan dengan beberapa alat yang tampak asing pula, tetapi diantara alat-alat asing itu jelas tampak olehku dua buah suntikan. Cuma itu yang aku tahu karena dua bulan yang lalu di sekolahku anak-anak disuntik. ”Untuk mencegah virus bahaya”, kata Guruku.
Kulihat lagi sekeliling ruangan yang aku tempati ini. Terlihat di pojok ruangan dua anak. Yang satu gempal dan yang satunya kurus.
”Itu Bayu dan Surya gumamku”
Kenapa wajah mereka begitu kusut, kenapa dia ada di sini. Bukanya seharusnya ia bersekolah. Aku juga kenapa ada disini. Aku masih saja bingung denagn apa yang sebenarnya terjadi. Kuingat kembali apa yang terjadi pada diriku, semakin ku ingat, semakin sakit kurasakan kepalaku.
Kulihat segelas air tergeletak di meja dekat tempat kuberbaring, ingin kurengkuh gelas itu. Tapi tak tau kenapa tangan ini terasa sungguh berat. Tak ada kerjasama tangan dan tubuhku ini. ”Kenapa tanganku?” pikirku dalam hati. Terus kucoba dan terus kucoba mengangkat tanganku ini tapi serasa tertindih beban yang sungguh berat tanganku tetap pada posisi semula, bahkan kucoba menggerakkan jari-jari kecilku pun sungguh serasa berat. Kususuri tangaku dengan padanganku, kulihat seikat kain putih membungkus tanganku yang tak bisa merasakan apa-apa. Kulihat kakiku yang dari tadi tak pernah kurasakan kehadiranya dalam tubuhku tergantung pada sebuah tiang penyangga dengan dipenuhi kain-kain putih.
”Kenapa diriku? Kenapa semua badanku seperti ini? Kenapa aku ada disini? Aku masih belum sadar dengan apa yang terjadi pada diriku, kuingat dalam-dalam semua yang terjadi, kuingat terus tapi tak juga kudapatkan ingatanku tentang semua ini. Kuingat terus. Lebih dalam dan lebih kuat kuingat semuanya. Begitu lama kucoba mengingatnya dan semakin lama kegelapan dan beban yang sangat berat terasa memenuhi kepalaku. Semakin gelap. Tiba-tiba tak dapat kukuasai semua ragaku. Gelap. Gelap. Dan gelap.
.........................................
Bersambung.....
Posting Komentar