Kroeber dan Kluckhom (1952) telah mengumpulkan berpuluh-puluh definisi mengenai kebudayaan, dan mengelompokkannya menjadi enam golongan menurut sifat definisi itu, yakni (1) definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan; (2) definisi yang historis, yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secra kemasyarakatan; (3) definisi normatif, yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku; (4) definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri terhadap lengkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup; (5) definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur; (6) definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Nababan (1984) menunjukkan bahwa kebudayaan itu melingkupi segala aspek dan unsur kehidupan manusia. Nababan mengelompokkan definisi kebudayaan atas empat golongan, yaitu (1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat; (2) definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture); (3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia; (4) definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat dunia.
Nababan (1984:49) secara gamblang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan. Termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat (definisi-definisi golongan) (1), hasil-hasil pendidikan (definisi-definisi golongan) (2), dan kebiasaan dan perilaku (definisi-definisi golongan) (3). Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Untuk memahaminya Koentjaraningrat, menggunakan sesuatu yang disebutnya ”kerangka kebudayaan”, yang memiliki dua aspek tolak, yaitu (1) wujud kebudayaan, dan (2) isi kebudayaan. Yang disebut wujud kebudayaan itu berupa (a) wujud gagasan, (b) perilaku, dan (c) fisik atau benda. Ketiga wujud itu berurutan disebutnya juga (a) sistem budaya, yang bersiat abstrak; (b) sistem sosial, yang bersifat agak konkret; dan (c) kebudayaan fisik, yang bersifat sangat konkret. Isi kebudayaan itu terdiri dari tujuh unsur yang bersifat universal, artinya, ketujuh unsur itu terdapat dalam setiap masyarakat manusia yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur itu adalah (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.
2. Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat bahasa bagian dari kebudayaan, jadi hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Masinambouw (1985) malah menyebutkan bahwa bahasa (istilah beliau kebahasaan) dan kebudayaan merupakan dua sistem yang ”melekat” pada manusia.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat kontroversial, karena itu hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir – Whorf, dan lazim juga disebut relativitas bahasa (Inggris: linguistic relativity).
Masinambouw (1985), bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran. Silzer (1990) yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam. Menurut Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental sebagian besar orang Indonesia.
Sikap mental menerabas, menurut Koentjaraningrat, tercetmin dalam perilaku berbahasa berupa adanya keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa keinginan untuk belajar. Sikap tidak mau bertanggungjawab menurut Koentjaeaningrat tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau memperhatikan penalaran bahasa yang benar.
3. Etika Berbahasa
Masinambouw (1984) mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Kajian mengenai etika berbahasa ini lazim disebut etnografi berbahasa. Dalam kajian antropologi istilah etnografi digunakan untuk pemberian kebudayaan.
Menurut Kridalaksana (1982:14) dalam bahasa Indonesia ada 9 jenis kata untuk menyapa seseorang, yaitu (1) kata ganti orang, yakni engkau dan kamu; (2) nama diri, seperti Dika dan Nita; (3) istilah perkerabatan, seperti bapak, ibu, kakak, dan adik; (4) gelar dan pangkat, seperti dokter, profesor, letnan, dan kolonel; (5) bentuk nomina pelaku (pe+verba), seperti penonton, pendengar, dan peminat; (6) bentuk nomina +ku, seperti Tuhanku, bangsaku, dan anakku; (7) kata-kata deiktis, seperti sini, situ, atau, di situ; (8) bentuk nomina lain, seperti awak, bung, dan tuan; (9) bentuk zero, tanpa kata-kata.
Gerak-gerik fisik dalam etika bertutur menyangkut dua hal yakni yang disebut kinesik dan prosimik. Yang dimaksud dengan kinesik adalah, antara lain gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, gerakan tangan bahu, kepala, dan sebagainya. Gerakan mata adalah alat yang sangat penting di dalam etika berbahasa. Yang dimaksud dengan prosimik adalah jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap. Secara terpisah, kinesik dan prosimik merupakan alat komunikasi yaitu alat nonverbal, atau alat komunikasi nonlinguistik, yang biasa dibedakan dengan alat komunikasi verbal atau alat komunikasi linguistik.
sumber:
ABDUL CHAER & LEONIE AGUSTINA (Sosiolinguistik)
Posting Komentar